Tuesday, May 1, 2007

NEVA 3

Telah sebulan KKN selesai. Dan selama itu pula aku tidak bertemu
dengan Neva. Rindu ini begitu mencabik-cabik pembuluh darah dalam
nadiku dan mengakumulasi ke kelenjar otak. Bambang dan Panca,
teman-teman sekontrakanku sampai heran dengan diriku yang tiba-tiba
menjadi pemarah dan sensitif. Akhirnya aku ceritakan bahwa aku jatuh
cinta dengan perempuan itu. Saat kutunjukkan fotonya, Panca begitu
terkejut ternyata Neva teman basketnya di tim universitas. "Wah...
kamu pinter milih, Yok! Kalo dia aku ya mau juga," jawabnya terkekeh
Aku tahu saat ini pasti Neva sedang ngebut nyelesain skripsinya. Dia
pernah bilang dia harus selesai dalam hitungan 2 bulan. Benar-benar
gila anak itu otaknya. Aku jadi malu ke diriku sendiri. Dibandingkan
dia aku belum melakukan apa-apa dalam hidupku untuk diriku sendiri.
Panca jadi heran dengan perubahanku yang begitu tiba-tiba. Aku jadi
lebih sering mengerjakan proposal skirpsiku yang telah sekian lama
terbengkelai. Jadi sering ke perpustakaan pusat (hm... siapa tahu
Neva ke sana). Sudah beberapa kali aku coba ke rumahnya yang sangat
besar di utara Yogya itu. Tapi mobil Don yang sering nongkrong di
depan rumah itu membuatku kecul sendiri. Kamu memang pengecut Yok!
Entahlah. Sampai suatu hari aku pergi ke perpustakaan dan wanita
yang duduk tekun di pojok membuat wajahku pias. Neva? Dia duduk
sambil memelototi buku the Trial-nya Frans Kafka (Pasti buat
referensi skripsinya.) Kacamata bacanya membuat wajahnya menjadi
begitu menarik. Sosok kecerdasan yang luarbiasa digabung dengan
keperempuanan yang menyihirkan.
Kudekati dia dan kusapa.
"Hei!"
"Hey!" jawabnya datar.
"Sedang apa?
"Berenang!" jawabnya seenaknya. Seharusnya aku tahu, aku tak bisa
mengganggunya kalau sudah ada buku di tangannya. Biar ada bom
meledakpun dia tak akan bergeming. Aku hanya terdiam memandangnya
sambil berharap dia akan memandangku, tapi harapanku itu sia-sia.
Dia tak bergeming sedikitpun. Sampai sebuah sosok laki-laki mendekat
ke arah kami, Don! "Hey.. Yok? sudah lama?" sapanya hangat Aku hanya
mengangguk dengan senyum yang pasti begitu aneh. Neva segera
bangkit. "Yuk Don pulang... pulang dulu ya Yok!" tanpa menunggu
jawabanku dia mengeloyor pergi begitu saja. Aku hanya terbengong dan
kelu.
Kriiing! Weker ayamku membangunkan tidur siangku. Dengan kecepatan
kilat yang luar biasa aku mandi dan segera bergegas mengambil
ranselku, Sialan, kenapa sih pak Sutoyo dosen pembimbingku bikin
janji jam 4 sore gini. Saat membereskan laporan-laporanku si Bambang
menggedor pintu kamarku. "Yok... aku berangkat dulu, pulangnya
mungkin bulan depan," pamitnya. Ya ampun baru aku ingat sore ini dia
mau ke Sulawesi mau melamar tunangannya. " Ya... hati-hati... salam
buat Tasya!". Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi.
Kenapa lagi sih ? "Ngapain Mbang? Ada yang ketinggalan?" "Ngg... anu
Yok ada tamu!" Kenapa sih anak itu, ada tamu kok mbingungi. Segera
kubuka pintu kamarku. Seolah-olah ada sebongkah besar batu menyekat
tenggorokanku dan aku hampir tak bisa dibuat bernapas karenanya.
Neva! Perempuan itu berdiri dengan kostum seperti biasanya, kaos dan
jeans belel. Tapi di pundaknya ada ransel yang lumayan besar. Mau ke
Merapikah? "hey... boleh nginap di sini?" tanyanya cuek dan tanpa
menunggu jawabanku dia langsung masuk kamar. Ah anak itu memang
penuh dengan kejutan. Seperti orang linglung aku bahkan tak sempat
mengenalkan Bambang yang terburu-buru pergi. "Mama nyusul Papa ke
New York. Don pergi ke Kalimantan. Ada riset di Kalcoal. Males di
rumah. Sepi!" seolah-olah tahu keherananku dia merebahkan tubuhnya
ke kasur yang tergeletak begitu saja di lantai. Anak tunggal
pasangan dokter bedah ternama di kota ini memang paling takut
sendiri di rumahnya yang super besar itu. "Sampai kapan?" tanyaku
sekenanya. "Tahu! Mungkin sebulan. Kalo mama dan papa sih lima
minggu. Soalnya mereka mau ke Eropa sekalian. Nengokin om Jon, adik
mama di Paris. Kamu kalo mau pergi, pergi aja aku ngantuk!" dia lalu
membalikkan tubuhnya . Kalau tidak ingat dosenku itu sangat susah
ditemui, pasti kubatalkan kepergianku.
Sepanjang pertemuanku dengan pak Sutoyo, tidak sedetikpun
konsentrasiku ke proposal yang aku bikin. Sialnya dosenku itu justru
malah kuliah panjang lebar tentang teoriku yang salah. Saat sesi itu
selesai, baru kusadar telah tiga jam aku meninggalkan Neva di rumah
kontrakkanku. Bagaikan kesetanan aku memacu motor tuaku ke rumah
kontrakkanku di daerah Mbesi sambil tak lupa menyempatkan di warung
langggananku untuk 2 botol besar Coke dan seplastik es batu (minuman
kesukaan Neva). Hm.. mengapa rumahku gelap? Pasti si Neva ketiduran.
Kubuka gerendel, aku terkejut beberapa lilin menerangi kamar tamuku.
Mati listrikkah? Sayup-sayup kudengar kaset Michael Frank dari
kamarku. Lalu dengan pelan takut menganggu tidur perempuan itu
kubuka kamarku. Dan pemandangan di kamarku membuat kedua mataku
hampir keluar dari tempatnya karena ketakjubanku. Beberapa lilin
yang mengapung di tembikar yang penuh dengan kemboja nampak
menghiasi beberapa sudut ruangan. Spreiku telah diganti menjadi biru
tua polos dan bertaburan melati dan bau dupa eksotis membuat kamarku
demikian cozy. Beginikah honeymoon suite room? Neva dengan rok
terusan selutut bertali dan sersiluet A tersenyum menyambutku. Kain
rok itu begitu tipis dan ringan, warna putihnya mengingatkan aku
pada turis-turis yang sering memakainya di Malioboro. Tampak kedua
dadanya penuh dan kedua puncak hitamnya yang menonjol menyadarkanku
bahwa dia tidak memakai bra hitam kesukaannya. Setangkai kamboja
menyelip di telinganya. Ah... pantas bule-bule itu menyukai
perempuan negeri ini. Ada satu karakter yang kuat memancar dengan
dahsyatnya. Saat lagu "Lady wants to Know" mengalun, Neva memegang
tanganku. "Shall we dance?". Kuletakkan semua bawaanku begitu saja
dan dengan ketakjuban yang masih menyelimuti perasaanku kusambut
tangannya, kupeluk dia dengan kerinduan yang tak kunjung usai. Harum
parfum Opiumnya Yves Saint Laurent semakin meempererat pelukanku.
Sesekali kucium tangannya yang kugemnggam sangat erat. Kamipun terus
berpelukan hingga satu lagu itu usai. Saat lagu kedua mulai,
tiba-tiba perempuan itu mendongakkan kepalanya yang tadinya rebah di
dadaku.
"Bercintalah denganku?
Setubuhi aku dengan jiwamu...
Bawalah aku ke dalam darahmu
Biarlah aku terus menjadi hantu yang selalu menghuni satu sudut
ruang hatimu..." bisiknya lembut. Kata-kata itu bagaikan sihir yang
membutakan seluruh sendi kesadaranku. Tanganku turun dan dengan
perlahan kusentuh dengan lembut kedua dadanya. Bibirnya yang penuh
kukecup dengan penuh kasih lalu segera kulumat dan kuteruskan dengan
penjelajahan ke lehernya dengan kecupan-kecupan hangat.
Gigitan-gigitan kecil di dadanya terkadang membuatnya tersengat.
Kain di dadanya segera basah oleh ciumanku dan kedua puncak hitamnya
tegak berdiri di balik samar warna putih. Dengan kepasrahan yang
penuh, perempuan itu kugendong ke ranjangku. Kubuka dengan perlahan
bajuku dan dalam hitunga detik kami telah ada dalam kepolosan yang
purba."Please... explore me!" rintihnya saat kujilati bibir
kewanitaannya. Entah mengapa aku begitu kreatif saat itu. Segera
kuambil ikat pinggangku dan kuikat kedua tangannya kebelekang lalu
dia kududukkan sambil kututup mataku dengan syal batik ibuku yang
selalu kubawa. Oh Tuhan (masih pantaskah aku menyebutNya?) betapa
menggairahkan pemandangan di dekapanku. Kuambil bongkahan es batu
dalam plastik dan kubanting ke lantai. Gedubraaaak!
"Suara apa itu?" pekiknya kaget. Pertanyaan itu tidak kujawab dengan
jawaban tetapi dengan ciuman liar dan hangat di bibirnya. Tanganku
memegang sebongkah es batu dan kutelusuri seluruh tubuhnya dengan es
itu dengan gerakan bagai lidah di tempat-tempat sensitifnya."Arrgh..
ah... ugh.. ugh!" dia menggelinjang dengan hebatnya karena sensasi
itu. Saat kupermainkan bongkahan es di puncak hitamnya yang sangat
kaku mengeras dia mengaduh "Uuuh... hisap... please!" rintihnya.
Lalu kuhisap ke dua puncak itu sambil kugigit-gigit kecil.
Gelinjangnya semakin liar. Lalu es itu kujelajahkan di atas
kewanitaannya. Tanpa dapat dibendung lagi dia mengerang hebat dengan
erangan yang tak pernah kudengar (ah mungkin waktu itu tempatnya
tidak sebebas di kontrakkanku). "Arrgh.. uh.. oh... yessss... oh...
ah.. great... baby..." saat es yg semakin kecil itu kumasukkan ke
dalam kewanitaannya dan kumainkan bagai lidahku dia mengerang dan
memohon untuk kusetubuhi dengan kelelelakianku. "Please Yok...
setubuhi aku.. ayo.... ah...." tapi aku tidak melakukannya, justru
aku segera melumat kewanitaannya dengan lidahku. Karena kedua
tangannya masih terikat dia tidak bisa memegang kepalaku untuk
dibenamkannya ke kewanitaannya dan dia menggunakan kedua kakinya
untuk menjepit tubuhku. Erangannya makin hebat saat kuhisap cairan
di kewanitaannya, kujulurkan lidahku makin dalam... dan dalam...
"Aaaaaaaaargh!... argh....oh yesssssssssssssssss!" Kuhisap, kulumat
dengan keliaran yang tak terkendali. Persetan dengan yang mendengar
saat kudengar bunyi pintu terbuka. Itu pasti Panca. Benar, mungkin
karena sungkan, dia segera masuk ke kamarnya. Erangan perempuan itu,
semakin keras saat kutanamkan dalam-dalam kelelakianku ke lubang
kewanitaannya. "Oh yesssssssss!... arghhhhhh!" dia tak bisa bebas
meronta, hanya panggulnya yang diangkatnya tinggi-tinggi untuk
dibenamkan semakin dalam. Saat kubuka matanya dan talinya dia segera
mendorongku hingga aku terjembab dan dicabutnya kewanitannya. Dia
lalu jongkok di atas wajahku dengan posisi terbalik. Lalu dengan
liar dihisapnya kelelakianku. Dikulumnya dalam-dalam, di saat yang
bersamaan akupun bisa memainkan lidahku di kewanitannya. "Ahh..
uh... ah..." begitu nikmat luar biasa, Kulumannya semakin liar di
kelelakianku sambil sesekali digigit kecil pangkalnya. Kedua bukit
indahnya yang menggantung segera kuremas dan kupilin keras.
"Auw...." Jerit kecilnya saat aku memilin putiknya terlalu keras.
Neva semakin hebat mengulum kelelakianku sambil menggoyangkan
kewanitaannya agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Lalu dengan waktu
yang bersamaan kami mencapai sensasi erangan yang memekakkan.
"Aaargh... oh YESSSSSSSSS!" lava yang begitu deras keluar dari
kelelakianku, segera direguknya cairan itu. Oh indah luar biasa...
Tuhan.. aku begitu mencintainya. Dan malam itu kami terus bercinta
hingga pagi menjelang.
Sudah hampir 2 minggu ini Neva tinggal bersamaku. Selama itu pula
erangan-erangan dan lenguhan-lenguhan kami telah menjadi seuatu yang
biasa di kontrakkanku. Setiap hari kami bercinta, terkadang pagi,
siang dan setiap malam. Hampir seluruh sudut rumah ini telah sempat
menjadi 'ranjang' kami (tentunya saat Panca pergi). Panca sudah
terbiasa mendengar teriakan-teriakan kepuasan dari kamarku, bahkan
kami terkadang berciuman dengan seenaknya di depannya. Pancapun
hanya menggerutu, "Huh... jadi kambing congek nih..." Lalu kamipun
hanya tertawa melihat ekspresi sahabatku itu. Lalu dengan sekali
pandang kami segera masuk kamar. Biasanya Neva masih sempat menggoda
Panca dengan kenakalannya.
"Hey... jangan pengin lho Pan?"
"Huh cah edan!" sahabatku itu begitu pengertian sambil tetap
bersungut dia masuk kamar sambil meneruskan gerutuannya:
"Tereaknya jangan kenceng-kenceng!" lalu erangan-erangan hasratpun
kembali menguak di antara keringat-keringat kami. Hari-haripun
berlalu demikian indahnya. Hingga suatu siang, saat aku pulang dari
kampus aku begitu terkejut saat melihatnya berkemas.
"mau ke mana Nev...?"
"Pulang," Jawabnya pendek.
"Mama Papa udah balik?" dia hanya menggeleng.
"Besok Don pulang!"
Pyaaaar! Tiba-tiba kepalaku pening. Ada kemarahan yang tiba-tiba
meyerang. Tidak, aku tidak marah kepadanya, aku hanya marah dengan
situasi ini.
"Tinggallah bersamaku," pintaku. Kurasakan ada nada putus asa di
dalamnya. Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Tidak. Don akan marah kalau ke rumah aku nggak ada". Don, lagi-lagi
Don! Kenapa nama itu tidak hilang dari hatinya. Tidak puaskah dia
dengan cintaku? Keputusasaanku akhirnya terakumulasi dengan
kemarahanku. Kutarik tubuhnya ke pelukanku, kudekap tubuhnya
kuat-kuat. Diapun mengejang dengan pandangan bingung. Tiba-tiba
kudengar suaraku meninggi.
"Tidak! Kau harus tinggal!" melihat perempuan itu tetap menggeleng
aku semakin tak terkendali. Yang ada di kepalaku cuma satu, dia
harus jadi milikku, selamanya! Dan keluarlah kalimatku yang kusesali
hingga saat ini: "Jadi, kuanggap aku gigolomu. Harusnya kamu bayar
aku mahal, Nev!"
Plaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat kemarahan luar
biasa di matanya. Badannya bergetar dengan hebat. Aku semakin kalap
segera kugumul dan kutindih dia dengan tubuhku. Dia meronta dan
akupun semakin marah. Segera kubuka celanaku dan kupelorotkan celana
pendeknya sekaligus celana dalamnya. Lalu dengan kasar kusetubuhi
perempuan kecintaanku itu dengan ganas. Neva berteriak kesakitan
karena secara alami tubuhnya menolak. Tapi aku tidak peduli dan
dengan sengaja kumasukkan dalam-dalam lava kelelakianku (selama ini
aku tidak pernah memasukkan ke dalam kecuali dengan karet pengaman).
Aku ingin dia hamil. Hanya itu satu-satunya cara untuk memilikinya.
"Oh..jangan..." Teriakannya semakin membulatkan niatku. Setelah
semuanya selesai, baru kusadari ada buliran air mengalir dengan
deras dari kedua mata indahnya. Ya... Tuhan Apa yang telah kuperbuat
terhadap perempuan yang sangat kucintai dalam hidupku ini? Tanpa
berkata sepatahpun dia segera meberei tubuhnya dan sambil membawa
bawaannya dia pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Siang itu di
tengah guyuran hujan yang turun dengan tiba-tiba, menjadi saat
terakhir aku melihatnya. Aku begitu sakit ....
Aku berusaha puluhan kali menemuinya ke rumahnya, tapi hanya
pembantunya yang keluar dan bilang nonanya pergi atau seribu alasan
lainnya. Nev... aku hanya minta maaf. Di hari wisudanyapun ternyata
dia tidak datang. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalahku.
Hingga suatu siang ada suara mengetuk. Nevakah? Begitu kubuka
ternyata Don. Belum sempat aku bertanya sebuah pukulan mendarat di
mukaku. Don hanya berkata lirih sambil melemparkan sepucuk surat,
"Goblok! Kamu hampir memilikinya, tapi kamu sendiri yang
merusaknya". Sambil menahan perih kubaca surat itu. Surat Neva!
"Don-ku sayang...
Maafkan aku. Saat kau baca surat ini aku sudah di Paris, kebetulan
om Jon nawarin aku tinggal di sana. Jadi sekalian aku ambil sekolah
film sekalian. Maafkan aku tak sempat bilang padamu tentang
keputusanku ini. Don, tadinya kamu adalah satu-satunya lelaki yang
ingin kuberikan seluruh hidupku. Aku menjadi sangat terluka saat
kamu tidak menginginkan anak dariku. Meski kamu akhirnya mau menikah
denganku.... Tetapi ternyata semuanya menjadi lain saat aku bertemu
Iyok (Ah alangkah senangnya jika ada satu sosok gabungan antar
dirimu dan Iyok). Aku juga menginginkan hidup bersamanya. Dan itu
tidak adil bukan? Aku merasa mengkhianatimu saat bersamanya dan
mengkhianatinya saat bersamamu. Saat kamu pergi ke Kalimantan aku
pikir itu saat yang tepat untuk menguji perasaanku kepadamu dan
kepadanya. Hidup bersamanya begitu rileks aku sungguh menikmatinya.
Hampir saja kuputuskan untuk hidup bersamanya. Tapi ternyata rasa
cintanya begitu 'menyesak'kan ruangku. Akupun tidak bisa hidup
dengan cara itu. Don, aku harap kamu mengerti dengan pilihanku ini.
Aku mencintaimu selamanya aku mencintaimu. Jika kamu sempat bertemu
Iyok, tolong katakan bahwa aku hanya menyesal dia tidak bisa
merasakan perasaanku kepadanya... just take care of yourself. Neva."
Aku hanya termangu. Karena itu setiap tahun aku pasti menyempatkan
pergi ke hutan karet itu dengan seribu satu alasan ke istriku....
Catatan: Lima tahun yang lalu, Panca pernah melihatnya di bandara
Changi. Neva bersama seorang anak perempuan usianya sekitar lima
tahunan. Mereka sendirian sambil menunggu pesawat ke Paris. Aku
begitu gemetar mendengarnya. Aku tidak berani memikirkan segala
kemungkinan...

No comments: