Wednesday, May 2, 2007

CEMBURU

Sabtu awal bulan, di pagi menjelang siang hari
tepatnya jam 10:30 yang cerah, aku sudah duduk di
rumah makan cepat saji yang cukup populer di
Jakarta. Setelah memesan makanan, kupilih tempat
duduk dekat kaca, agar dapat melihat situasi di
luar. Dari pantulan cermin aku melihat di
belakangku ada pria dan wanita. Yang pria sedang
membaca surat kabar dengan posisi mengahadap kaca
di sampingnya sedangkan wanitanya melahap makanan
yang tersaji di hadapannya sehingga tidak ada
suara, hanya suara musik yang terdengar
sayup-sayup.

Karena aku nggak biasa sarapan pagi, jadi
sarapannya tidak bisa cepat, sedikit-sedikit yang
penting masuk. Nampak di belakangku mulai ada
pembicaraan, semakin lama semakin keras. Oh,
ternyata lagi ada pertengkaran, namun suaranya
tidak terlalu keras. Bagus juga idenya kalau
bertengkar cari tempat di luar rumah. Si wanita
cemburu terhadap pasangannya, namum disanggah oleh
si pria. Dia tak mungkin berseligkuh dikarenakan
semua penghasilannya sudah diberikan padanya.

Tiba-tiba kulihat di luar ada seorang wanita
berjalan dengan cepat sambil membawa tas plastik
merah. Sepertinya kenal. Aku ingat-ingat. Oh iya,
itukan Mbak Indah. Kulihat jam menunjukkan jam
11:30, berarti mulai berdatangan WP di depan rumah
makan ini, tetapi ini masih yang juniornya alias
yang baru lulus training. Aku sudah tidak
memfokuskan ke pembicaraan orang di belakangku.
Tak lama sepeda motor berpenumpang melintas dan
menurunkan penumpangnya tepat di belakang
kendaraanku yang kuparkir di seberang rumah makan
dan hanya tiga blok dari sebuah panti pijat
tradisional (Papitra). Dia turun dan memberikan
uang. Oh ternyata naik ojek, itu kan Mbak Anita.
Saat Mbak Anna masuk, sebuah bajaj berhenti lagi
di belakang kendaraanku. Setelah bajaj berlalu
tampak Mbak Ayu, dengan cepat melangkah masuk.
Lama kelamaan parkir mulai penuh di sekitar
Papitra, dan banyak pengemudi masuk ke situ.
Nampak roda kehidupan Papitra mulai berputar.

Tanpa terasa suasana rumah makan mulai ramai.
Pengunjung sudah bergantian keluar-masuk.
Makananku pun sudah mulai habis. Aku pesan makanan
penutup, sambil tidak sedikitpun membuang
pandanganku ke arah sekitar mobilku. Bukannya
takut kehilangan mobilku, tetapi di situlah
rata-rata para WP turun dari kendaraan yang
mengangkut mereka - mungkin malu dengan
"pengantar"nya bahwa mereka bekerja di Papitra,
sedangkan yang naik bis pasti berjalan kaki untuk
mencapai tempat bekerjanya.

Hari semakin siang, sudah menunjukkan jam 13:00.
Wp masih berdatangan. Ada yang muda dan kecil,
rata-rata mereka menggunakan pakaian serba ketat
atau hanya bawahannya saja yang ketat, nanti
setelah masuk mereka akan menggunakan pakaian
dinasnya yang setiap hari berganti warna tetapi
dengan model yang sama, mempunyai bordiran nama di
dada kanan sedangkan rok mininya ditulis nama WP
dengan spidol di bagian dalam lipatan pinggang.
Nah jam segini yang datang biasanya para
senior-senior. Ada yang keluar dari taksi sambil
bicara dengan HP-nya. Begitu taksi yang menutupi
pandanganku jalan, baru aku tahu kalau itu Mbak
Febby. Ada yang jalan kaki tetapi sambil bicara
juga dengan HP-nya, kalau nggak salah ini Mbak
Anna, dari penampilan mereka rata-rata HP yang
digunakan keluaran terbaru.

Tidak berapa lama ada seorang wanita berpakaian
ungu muda keluar dari taksi. Begitu taksi pergi,
dia jalan menuju ke Papitra. Siapa yah? orang
barukah? kataku dalam hati sambil menyentuh daerah
antara hidung dan bibir atas dengan telunjuk
kiriku - rasa penasaran dan petualanganku mulai
tumbuh - dari penglihatanku umurnya kurang lebih
sekitar 30 tahun. Yang menarik adalah pinggulnya
cukup besar. Bila berjalan seperti bebek, megal
megol, seperti orang hamil (???), apa mungkin
orang hamil bekerja di Papitra?.

Didorong rasa ingin tahu, aku menelpon ke Papitra
di depan rumah makan itu.
"Hallo selamat siang," suara resepsionis.
"Siang Mbak Ani," jawabku.
"Mau pesan, Pak Budi?" katanya, masih ingat
namaku. Mana mungkin lupa, khan setiap datang
selalu diberi uang tip. (Hati-hati ada pengganti
Mbak Ani, yang setiap mengembalikan uang jasa
pijat selalu mengatakan kembaliannya kurang karena
nggak ada uang kecil. Dia hanya menyediakan uang
terkecil 10.000,- jadi di bawah nilai ini tidak
akan dikembalikan - "pemerasan terselubung" alias
tip maksa. Aku kalau bertemu dengan orang ini,
selalu aku membayar lewat WP, agar kembaliannya
tidak jatuh ke tangannya. Lebih baik jatuh ke
tangan WP - khan dia yang "memeras").

"Mbak Ani, yang barusan baru masuk menggunakan
baju ungu siapa sih?" tanyaku.
"Oh itu Mbak Desi," jawabnya.
"Sepertinya kok lagi hamil, Mbak?" tanyaku sambil
menebak.
"Emang bener, Pak," jawabnya.
"Mbak Ani, sorry aku nanyanya agak-agak nih, kalau
lagi hamil tugas, berarti hanya mijat dong?"
tanyaku mendesak.
"Dalam kamar siapa yang tahu Pak?" jawabnya
diplomatis, benar juga.
"Sudah ada yang pesan?" tanyaku, jadi ingin coba,
karena rasa keingintahuanku.
"Belum, Pak Budi mau pesan?"
"Iya deh."
"Untuk jam berapa?"
"Hmmm," mikir dikit, dia baru sampai, butuh
istirahat, waktu makan siang sudah lewat, yah 30
menit cukup lah.
"Setengah jam lagi deh Mbak," jawabku.

Empat puluh lima menit kemudian aku sudah tanpa
baju hanya menggunakan CD dengan isi sudah pada
posisi. Tidur telungkup menghadap tembok di kamar
lantai tiga ukuran 2x3 dengan penyejuk ruangan.
Tak lama tirai dibuka dan ditutup kembali.

"Selamat siang Pak," sapanya.
"Siang," jawabku sambil menolehkan muka ke arah
atas, tetapi tetap tidur telungkup.
"Mau minum apa?" tanyanya, sambil meletakkan
barang bawaannya, handuk, sabun, sprei, dan cairan
pelicin untuk pijat di atas satu-satunya sofa yang
ada di ruang itu.
"Air mineral nggak dingin," jawabku. Dia keluar
dan nggak lama membawa yang kuminta. Dia tidak
menanyakan pijat berapa jam, karena aku berada di
ruang VIP yang mempunyai waktu minimal satu
setengah jam.

Terdengar dia melepaskan seragam dinasnya (padahal
suhu ruang cukup dingin). Menutupkan selembar
handuk ke punggungku mulai leher hingga pantat dan
mulai memijit telapak kakiku. Selanjutnya aku
tidak menjelaskan tahapan-tahapan pijat.

"Sebentar ya Pak, mau ke toilet," ijinnya.
"Ya," jawabku singkat.
Saat kembali dia mulai memijat kembali, mungkin
terlalu lama berdiri saat memijat tadi, sehingga
dia naik ke tempat tidur dan memijat kaki
sebelahku yang belum disentuhnya dari tadi.
Selanjutnya dengan mengangkang dia memijat
punggungku. Terasa pahanya dibungkus dengan celana
ketat, saat bersentuhan dengan pahaku.

"Kamu nggak pernah diisengin sama tamu, Mbak?"
tanyaku.
"Itu sih sering Pak, santapan setiap hari!"
katanya.
"Yang paling nyebelin seperti apa Mbak?" tanyaku.
"Belum lama ini ada tamu, saat lagi nafsu dia
bilang, Mbak ngentot yuk? aku jawab aja, sama
siapa Pak? dia jawab ya sama kamu, kirain sama
kambing kataku, ngomongnya kasar banget,"
jawabnya.
Mungkin ada benarnya kata tukang gado-gado
langgananku di blok M. Dia mengatakan bahwa
kelemahan wanita ada di telinga. Artinya kalau dia
disanjung, diajak bicara yang indah-indah, pasti
akan tunduk. Jadi bicaralah yang baik dengan
wanita siapapun dia, pasti kalau kamu minta
sesuatu dengannya akan diberikan.
"Maaf Pak, saya tinggal ke toilet lagi," ijinnya.
"Ya," jawabku singkat, membuyarkan lamunanku.

Nggak lama dia meneruskan pijatan yang belum
selesai. Setelah menyelesaikan pijatan tadi, dia
berkata.
"Pakai krim nggak, Pak?" tanyanya.
"He em," kataku.
"Maaf Pak," katanya sambil melipat CD-ku,
menjepitnya ke celah-celah pantat, dan akan
menutup sisi CD dengan handuk, tetapi.. "Tolong
dilepas aja Mbak," kataku. Dia menarik handuk dan
melepaskan CD-ku. Nah telanjang deh aku sekarang.
Dia mulai meratakan krim di seluruh permukaan
kulit kakiku, dan mulai memijit, dan beberapa
menit kemudian...

"Sebentar ya Pak, mau ke toilet lagi," ijinnya
untuk ke tiga kalinya.
"Ya" jawabku singkat, tanpa protes, karena aku
memaklumi, karena saat hamil kandung kemih
tertekan oleh kandungan, atau ada yang lain yang
aku nggak tahu.
"Yah beginlah Pak kalau kondisinya seperti ini,"
katanya saat masuk ke kamar.
"Aku maklum kok, Mbak," jawabku.

Dia mulai memijat kaki satunya lagi. Setelah
selesai dia mengeringkan krim dengan handuk,
karena kakiku cukup banyak bulunya dia menaburi
bedak bayi di seluruh permukaan ke dua kaki (kalau
dilihat nggak ubahnya seperti bayi yang habis
mandi terus dibedaki), sehingga minyaknya
bergabung dengan bedak, kemudian di gosok dengan
handuk satunya lagi, hasilnya lumayan kering.

Kemudian dia naik ke tempat tidur (biasanya WP
bisa melakukannya dengan berdiri, mungkin karena
beratnya menahan perut sehingga lebih baik sambil
duduk di tempat tidur guna mengistirahatkan kedua
kakinya). Wanita lagi hamil mana ada yang memakai
rok mini, biasanya selalu serba longgar kan,
kecuali wanita yang saat ini ada di atas pantatku.

Karena nggak ada tempat lagi untuk duduk, akhirnya
dia mengangkangiku sehingga dia menduduki pantatku
(asli lho, duduk plek, soalnya berat banget)
dengan berlapiskan handuk dan mulai mengolesi
krim. Saat sebelah kakinya diangkat untuk
mengangkang terasa pahaku bergesekan dengan paha
bagian dalamnya yang licin dan dingin. Tetapi
anehnya kok sudah tidak memakai celana ketatnya
lagi. Setelah punggung rata dengan krim dia mulai
memijat. Posisi memijat adalah maju mundur, mulai
dari pinggangku ke arah pundak. Karena gaya pijat
dan tumpuan duduknya pada tempat yang tidak rata
walaupun dilapisi oleh handuk, lama kelamaan dia
bergeser tepatnya terpeleset ke arah pangkal paha,
kan ada sedikit bekas krim serta berat tubuhnya
yang lumayan berat.

Dia mengembalikan posisi duduknya ke pantatku
lagi. Akan tetapi tanpa handuk hanya beralaskan
roknya. Sewaktu gaya maju - saat mengurut dari
pinggang ke arah pundak - dia terpeleset lagi.
Sewaktu mengembalikan pantatnya ke pantatku sudah
tanpa handuk, sebab irama pijatannya sudah agak
cepat, jadi kalau sebentar-sebentar ngurusin
handuk nggak selesai-selesai mijatnya.

Semakin cepat pijatannya, yang kurasakan bukan
punggungku lagi, akan tetapi di pantatku ada
sesuatu yang sangat kasar. Ternyata roknya sudah
tidak menjadi alas untuk duduk. Iseng, aku menoleh
ke belakang bawah.

"Sudah, nggak usah lihat-lihat," kata Mbak Desi,
tetapi sekilas aku dapat melihat dia jongkok
dengan roknya sudah di pinggang sementara di atas
pantatku ada daging yang cukup tebal tanpa bulu
(dicukur) nggak seperti bagasi mobilku, lebih
tepatnya nonong. Pantes pahanya kok licin, nggak
pakai celana!.

Aku ikutin perintahnya, prajurit muda lebih
mengandalkan tenaga, berhadapan langsung, dan
menekan sebaliknya prajurit tua lebih mengandalkan
pikiran, menghindari kontak langsung, cenderung
mengikuti (bukan mengalah), hasilnya tak jauh beda
dengan yang muda hebatnya lagi tanpa keluar
tenaga.

"Kenapa kok nggak pakai CD sih? Kamu khan lagi
hamil," tanyaku.
"Habis capek tiap kencing harus melorotin celana
ketat. Tadi sewaktu keluar yang ke tiga udah
kebelet banget jadi pas masuk nggak ketahan
keluar. Yah sudah basah, mau pakai cadangan ada di
lemari bawah, naik turun kan capek Mas. Tadi
kencing pertama aja udah nggak bisa jongkok,"
jawabnya panjang lebar. Perhatikan, panggilan
sudah berubah. Artinya dia sudah mulai mengenal.
Pantes saat kontak dengan pahanya terasa dingin
kemungkinan dari air saat membasuh setelah
kencing.

"Memangnya kenapa? Khan ada toliet jongkok,"
kataku.
"Toliet khan jorok Mas bekas orang banyak, jadi
kencingnya sambil berdiri tetapi kakinya dibuka
lebar biar nggak kena," jawabnya.
"Kamu nggak takut kerja tanpa CD?" kataku.
"Aku tadi diberi tahu sama Mbak Anita, kalau Mas
orangnya nggak reseh," katanya.
Ha ha, belum tahu dia, jawabku dalam hati. Mungkin
pergantian panggilan tadi berubah setelah ada
sekilas info dari Mbak Anita. Setelah selesai
memijat punggung, dia mulai mengeringkan krim
dengan cara seperti tadi.

"Mas balik," katanya.
Aku segera membalikkan badanku, sambil kulihat
wajahnya, dia tidak melihatku, tetapi melihat
kemaluanku yang masih "bobo siang" sambil
menutupnya dengan handuk kecil.
"kok dicukur Mas?" tanyanya setelah melihat burung
yang tanpa bulu.
"Kamu sendiri kenapa kok dicukur?" tanyaku.
"Kalau ditanya dijawab dulu dong Mas!" katanya.
"Yah biar bersih aja," jawabku.
"Apa nggak geli Mas dicukur gitu?" tanyanya.
"Eh, kamu nanya terus kapan jawabnya?" tanyaku.
Dianya tersenyum. Bibir bagian bawahnya (yang di
wajah yah) lumayan tebal ada belahan di bagian
tengahnya. Bibirnya dibalut pewarna berwarna pink,
kontras dengan kulit putihnya. Matanya bulat
sekali.
"Yah biar bersih juga. Nanti kalau sewaktu-waktu
melahirkan, nggak buru-buru mencukurnya. Mas aku
ke toilet dulu yah?" jawabnya sembari ijin yang ke
empat kalinya.

Kalau melihat posisi kandungannya sih udah di
bawah, nampak sudah waktunya. Dia masuk ke kamar,
dan naik ke atas tempat tidur, meminggirkan ke dua
kakiku, sehingga bisa duduk di pinggi tempat
tidur.

"Berapa usia kandunganmu?" tanyaku.
"Tujuh bulan lewat, Mas," jawabnya.
"Suamimu kok tega, udah seperti ini kok masih
disuruh kerja," tanyaku.
"Lebih tega lagi Mas, dia tidak mengakui ini
hasilnya, dan pergi begitu saja," jawabnya sambil
menunduk dan terus memijat.
"kok nggak di batalin aja?" tanyaku lagi.
"Biarin deh Mas, umurku sudah semakin tua, nanti
nggak ada yang ngurus aku. Biarin deh aku usahakan
sendiri," jawabnya kalem bersamaan dengan
selesainya mengeringkan salah satu kaki. Setelah
kering dia menggosok betisku yang berbulu dengan
handuk, kemudian mengangkangi kakiku tadi dan
menggosok pahaku dengan handuk, dan terasa bulu
betisku terasa beradu dengan sesuatu yang kasar.
Aku pura-pura tidak tahu dan kuperhatikan wajahnya
tidak berubah sedikitpun. Perubahan terjadi di
balik handuk yang menutupi kemaluanku, seperti ada
yang sedang mendirikan tenda.

Dia memijat kakiku yang sebelah. Perlakuan yang
sama dengan kakiku yang sebelah tadi. Juga acara
gesek-menggesek, sehingga makin sempurnalah
rubuhnya tenda. Yah, dalam posisi terlentang kalau
lagi "konak" nggak mungkin tegak sembilan puluh
derajat, yang ada juga posisi jam sepuluh kurang
sepuluh menit. Setelah selesai dengan kaki,
diturunkan handuk kecil hingga menutupi kemaluanku
saja dan...

"Perutnya dipijat Mas?" tanyanya.
"Terserah," jawabku. Repot juga dia akan
memijatnya, kalau sambil berdiri dia akan capek
kalau dari samping membutuhkan tenaga yang lumayan
banyak untuk menekan badanku. Yah terpaksa dia
mengangkangi kemaluanku yang hanya dilapisi handuk
kecil. Mulai memijat dari arah perut ke atas
melebar ke sekitar pundak. Perlahan-lahan, semakin
lama irama agak dipercepat.

Aku tidak tahu apakah percepatannya disebabkan
prosedur pijatnya, ataukah ganjalan di kemaluannya
yang semakin keras dan berdenyut-denyut. Disengaja
atau tidak posisi batang kemaluanku berada di
sela-sela bibir kemaluannya, hanya dipisahkan oleh
handuk.

"Mas, kata Mbak Anita sama Mbak Anna, kalau ke
sini nggak pernah main, kenapa sih?" tanyanya.
"Yang pentingkan puas Mbak, nggak main aja puas
kok," jawabku.
"Kalau sekarang aku ingin main sama Mas, gimana?"
tanyanya.
Sewaktu berkata demikian, handuk sudah hilang
sebagai pembatas. Hilangnya bukan ditarik tetapi
terdorong oleh goyangan pantatnya. Jadi antara
batangku dan bibirnya melekat.
"Berapa tips-nya?" tanyaku. Dia sudah
menggoyangkan pinggulnya, kesepakatan belum
terjadi pekerjaan sudah dimulai. Sebagai gambaran,
bibir bawahnya lumayan tebal dan sudah cukup basah
untuk penetrasi, maklum hamil (orang hamil lebih
cepat basahnya karena kelenjar yang memproduksi
lendir tertekan oleh kandungan).
"Seperti yang Mas berikan dengan Mbak Anita atau
Mbak Anna," katanya. Wah dilarang dumping harga
rupanya di sini.
"Ya, sudah," kataku. Begitu selesai aku bicara,
bersamaan dengan mulai masuknya kemaluanku ke
dalam kemaluannya. Ups, licin sekali (jadi ingat
main bola saat kecil di tanah lapang dari tanah
liat, nggak pernah membawa bola jauh, selalu
terpeleset apalagi bila bertemu lawan pasti jatuh)
tapi agak longgar, mungkin karena tekanan
kandungan, dan ada sesuatu yang menyentuh di ujung
kemaluan seperti ada benjolan di bagian dalam
kemaluannya. Ternyata mulut rahimnya juga sudah
turun.

Dia tidak melakukan gerakan naik turun, mungkin
sudah terlalu lelah, jadi hanya bergoyang-goyang,
tetapi goyangannya semakin lama semakin merunduk,
bak padi yang semakin berisi, di kepalanya semakin
berat, terdongak ke belakang, sementara pahanya
terbuka sangat lebar mengingat perut besarnya. Dia
berusaha agar klitorisnya bergesekan dengan bulu
kemaluanku yang tumbuh kasar di atas batang
kemaluanku. Beberapa menit kemudian dia
membalikkan badannya tanpa melepas batangku yang
tertanam. Sekarang dia menghadap ke kakiku.
Gerakan yang sama dia lakukan, tanpa naik turun,
tetapi menekan serta menggesek lubang anusnya yang
agak keluar, bukan ambein lho, tetapi itu tekanan
kandungan, sehingga lapisan bagian dalam anus yang
lembut tergesek oleh bulu kemaluanku. Dia tidak
mengeluarkan suara, tepatnya menahan lenguhannya,
agar tak terdengar di luar kamar. Hanya deru
nafasnya yang berfrekuensi tinggi, isap buang isap
buang, semua dilakukan melalui hidung. Mungkin
mulutnya dikunci dengan menggigit bibir bawahnya
takut tak sengaja keluar suara.

Akhirnya tangannya meremas pergelangan kakiku dan
mengedan. Terasa sekali denyutan lubang anusnya.
Tidak berapa lama aku pun keluar juga. Dia diam
sejenak menikmati semburan spermaku. Setelah
selesai, sudah tidak ada semburan dia mengangkat
pantatnya, dan saat batangku telepas dari
lubangnya, dia berusaha menjepit labia minoranya
dengan jarinya tetapi tetap aja ada yang
berjatuhan spermaku yang agak kental di
kemaluanku.

"Banyak banget sih Mas?" tanyanya, sambil
membersihkan vaginanya yang tembem banget dan
nonong, tetapi masih mengangkang di atas
kemaluanku.
"Iya udah lama nih nggak dikeluarin," jawabku,
sambil membersihkan spermaku yang berjatuhan.
"Kamu suka nyabu?" tanyanya, sambil turun dari
tempat tidur dengan sangat hati-hati.
"Suka nyapu rumah, nyapu halaman," jawabku. Dia
tersenyum.
"Maksudku narkoba," katanya.
"Nggak, kenapa sih?" kataku.
"Pantes. Udah keluar kok nggak mengecil, masih
besar dan keras," katanya.
"Sok tahu" kataku.
"Eh iya lho Mas, aku punya tamu dia habis nyabu
(sekarang sudah jadi trend memakai narkoba di
kamar Papitra, kadang bersama WP-nya) aduh
setengah mati aku ngeluarin pejunya," katanya
polos. Wah habis "O" ngomongnya udah nggak
terkontrol nih sih Mbak. Saat aku bangun memang
sih kemaluanku masih keras dan berdiri hanya
sembilan puluh derajat ditunjang dengan beberapa
urat yang menonjol.

"Terima kasih yah, Mbak. Kamu lagi hamil gini,
semua tamu kamu perlakukan seperti ini semua?"
tanyaku.
"Yah nggak Mas, kebetulan aku udah lama nggak
ngewe, terus lihat punya Mas keras banget, udah
gitu aku dapat info dari Mbak-Mbak kalau kamu
kalau ke sini nggak pernah main, tetapi bayar
penuh, artinya khan Mas orang bersih."
"Oh, jadi di kamar tunggu WP, banyak saling tukar
informasi yah?"
"Harus itu, biar kita nggak salah, yang lebih
penting lagi ini," katanya sambil menunjukkan
leleran sperma yang meleleh keluar dari vaginanya.
"Maksudmu?" kataku nggak mudeng.
"Aku taruhan sama Mbak-Mbak yang pernah sama Mas,
lumayan sepuluh ribuan sepuluh orang, ini sebagai
bukti bahwa kamu main sama aku," katanya.
Ha, kaget aku. Wah gila aku dijadikan obyek judi,
dasar.
"Sebentar Mas, aku ke toilet," katanya. Aduh bukan
tamunya yang didulukan, malah dia yang duluan.

Nggak lama dia masuk, dan...
"Nih aku bawain handuk yang baru," katanya dengan
wajah yang kelihatan seneng banget.
"Katanya nggak kuat naik turun, kok sudah bawa
handuk bersih dari bawah?" tanyaku.
"Khan minta tolong sama room boy," katanya.
"Nah tadi ngambil CD minta tolong aja sama dia,"
kataku.
"Nggak enak lagi Mas nanti dikira macam-macam,
lagian khan tadi belum ada modal buat nyuruh room
boy," katanya.
"Maksudnya?" tanyaku lagi.
"Khan menang taruhan, yah bagi-bagi rejeki. Aku
kasih uang room boy-nya untuk ambil handuk, mereka
kalau nggak ada uangnya nggak gerak Mas!" katanya.
Aku geleng-geleng.
"Iya setali tiga uang sama kamu, kalau nggak ada
uang juga nggak goyang," kataku tapi dalam hati.
"Mbak Desi, kok kamu duluan sih ke kamar mandi?"
tanyaku sambil memakai kimono dan membawa handuk
serta sabun.
"Aku tadi buru-buru ke sebelah ngasih tahu sama
Mbak Anita, kalau dia kalah taruhan dengan
menunjukan sperma Mas yang ngucur dari memekku,"
katanya. Waduh udah kotor nih mulut Mbak Desi,
mungkin terlalu gembira dengan kemenangannya dan
"O"-nya.

Setelah mandi, berpakaian dan memberikan tips, aku
bilang, "Kamu dapat tiga aku Cuma satu lho, Mbak!"
kataku.
"Iya deh, lain kali aku kasih bonus," katanya,
tahu maksudku kalau dia dapat tips, menang taruhan
dan "O"-nya.
"Janji yah, makasih Mbak," kataku, sambil aku cium
pipi kiri dan kanannya.

Saat turun ke depan resepsionis Mbak Desi
mengikuti di sampingku, guna memberi tahu ke
resepsionis berapa jam dan minum apa.

Aku bayar tagihanku dan tak lupa kuberikan lebihan
buat Mbak Ani.
"Terima Kasih Pak," katanya. Saat aku membalikkan
badan untuk menuju pintu keluar, sekilas aku
melihat beberapa pasang mata di ruang tamu
memandang bergantian antara aku dan Mbak Desi. Apa
ada yang aneh? Oh mungkin lihat perutnya Mbak Desi
yang nonong sementara tamunya terlihat "segar"
sekali.