Wednesday, May 2, 2007

ESTHER OH....

Anda masih ingat cerita saya dalam judul "Gairah
karyawanku" beberapa waktu lalu? Ada kisah yang masih
seputar karyawan saya yang bernama Esther itu, namun ini
bukan terjadi di kantor seperti yang saya ceritakan
dahulu, walaupun kisah ini masih benar–benar terjadi
seperti yang saya alami. Memang seperti yang dibayangkan
anda semua, setelah kejadian itu, kamisering melakukan
dimana ada kesempatan, pasti tidak kami lewatkan begitu
saja, seperti di puncak ataupun di hotel–hotel yang ada
di sekitar Jakarta. Kisah yang akan aku ceritakan ini,
terjadi justru di rumahnya kurang lebih 2 bulan setelah
kejadian di kantor tersebut, yang mana kejadiannya di
saat kami pulang kantor.

Seperti biasanya, saya dan Esther serta karyawan lain
pulang pada pukul 4:30 sore, namun kami tidak langsung
pulang. Kami habiskan sisa malam itu (kalau tidak salah
malam Sabtu) untuk nonton film di bioskop. Sepulangnya
menonton film **** (edited) pukul 9:30 malam, saya
mengantar Esther ke rumahnya. Oh iya, aku lupa
menceritakan bahwa Esther masih tinggal bersama orang
tua dan saudaranya yang lain.
Sebenarnya aku sudah akan pamit pulang karena lelah
bekerja seharian di kantor, tapi dengan manja Esther
mencegahku pulang, "Kenapa sih..? Sebentaaar... aja, aku
bikinin kopi ya..?Pleasee..!"
Aku jadi tidak tega melihatnya, apalagi mendapat tawaran
kopi yang menjadi kegemaranku itu.
"Iya deh, siapa takut?" ujarku setengah bercanda.
Begitu Esther membuka pintu ruang tamunya, kami disambut
oleh Rian, anaknya yang semata wayang itu.
"Bundaa pulang.., ‘kantol’-nya kok malem amat..?" mulut
mungil anak berusia 3 tahun itu terlihat menggemaskan
menanyakan ibunya.
"Iya sayang, Bunda kan harus kerja dulu, oh iya salim
donk sama Oom Pam." kata Esther sambil melirik ke
arahku.
"Mas, mandi dulu ya, aku bikinin kopi buat Mas..."
Aku hanya mengangguk kecil, kemudian kuterima handuk
dari Esther dan langsung masuk ke kamar mandi.

Setelah mandi, kulihat ayahnya sedang membaca koran di
ruang keluarga, kemudian kusapa, "Malam Pak, maaf, Saya
numpang mandi."
Ayahnya terlihat kaget, "Oh Nak Pram..? Saya kira siapa,
mari silakan duduk."
Kami pun terlibat obrolan ringan sampai akhirnya muncul
Esther keluar dari kamarnya, "Maaf Mas, Aku nidurin Rian
dulu, nih Mas kopinya, Aku mau mandi dulu ya..?"
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 10:45 malam, lalu
aku tanya ke Esther, "Udah malem gini mau mandi..?"
"Kenapa emang..? Abis badanku bau sih..." jawabnya
sambil meraih handuk yang bekas kupakai mandi tadi,
terus ngeloyor masuk ke kamar mandi.
Tidak lama kemudian, ayahnya menyahut, "Mas Pram, Ayah
tinggal tidur dulu ya..?"
Sambil mengangguk, kujawab, "Mari Pak.., silakan..!"

10 menit kemudian, terlihat Esther keluar dari kamar
mandi dan kelihatan segar dengan kaos kutang kuningnya
dipadu dengan celana pendek motif bunga yang bagian
pahanya terlihat longgar. Aku yang dari tadi duduk di
sofa di ruang tamunya, pindah selonjoran di lantai yang
dilapisi karpet berwarna coklat tua. Esther pun duduk di
sebelahku ikut selonjoran.
"Enak nggak Mas kopinya..?" Esther membuka percakapan.
Aku pun menyahut, "Yahhh... lumayan, kemanisan dikit."
sambil kuraih cangkir kopi di depanku dan tanpa sengaja
siku lenganku menyenggol daging kenyal di dadanya.
"Iihhh.., nakal ahh..!" katanya diiringi tatapan matanya
yang indah itu.
"Ehh.. Kamu.., nggak pake ya..?" aku setengah kaget
begitu mengetahui Esther tidak pakai BH.
Esther hanya tersenyum penuh arti.

"Nggak suka ya, hhmm..?" kata-katanya begitu menantang
gairah kelakianku.
Sebagai jawabannya, aku meraih kepalanya kemudian
kudaratkan kecupan lembut di bibirnya. Dia pun
membalasnya dengan penuh gairah dan tanpa dikomando,
tanganku mulai menjalar ke arah dadanya.
"Mas... hmm jangan Mas, nanti ketauan Ayah.. eehhh..
Ayah kan belum lama masuk kamar..?" kata Esther pelan,
takut ketahuan seisi rumah.
Aku pikir sebenarnya dia sudah dirasuki nafsu birahi.
Aku pun menjawabnya dengan setengah berbisik, "Lho,
lagian ngapain Kamu nggak pake BH, hayo..?"
Esther hanya membalas dengan mencubit perutku.
"Nakal..!" katanya manja tapi tidak berusaha menepis
tanganku atau bagaimana.

Sebenarnya, situasi di rumahnya tidak memungkinkan untuk
kami bercumbu. Tapi nafsu setan yang menguasai kami
berdua sudah tidak bisa dikalahkan. Kemudian sambil
mengobrol, kulanjutkan lagi jelajahan tanganku menelusup
ke balik kaos buntungnya itu. Karena di balik kaos itu,
Esther sudah tidak pakai apa-apa lagi, maka tanpa
kesulitan tanganku bisa meraih bola dagingkembar di
dadanya. Buah dada Esther walau sudah punya anak satu,
bagiku masih terasa kencang dan kenyal, apalagi puting
di puncak bukit kembarnya masih terasa kecil di jepitan
jari-jariku, layaknya masih gadis saja. Karena tidak
sabar, kutarik kaos kutang itu ke atas dan terpampanglah
tonjolan buah dadanya, lalu aku mulai mengarahkan
kepalaku untuk mengecup payudaranya.
Tapi ternyata kedua tangan Esther menahan kepalaku,
"Jangan Mas.., nanti ketahuan..." Esther berbisik pelan.
"Iya.., ya makanya begini aja, Kamu pura-pura ngobrol
apa kek, biar nggak ketahuan..." aku menyahut sambil
memberi saran.

Begitulah selanjutnya, Esther pura-pura ngobrol atau
menyanyi kecil untuk mengkamuflase tindakan kami agar
tidak terdengar oleh kedua orang tuanya. Sementara
jemari di tangan kiriku terus memilin puting payudara
Esther sebelah kiri yang sudah mencuat kemerahan, sedang
mulutku mulai mengecup puting yang satunya. Diperlakukan
seperti itu, walau masih menyanyi-nyanyi kecil, tak
urung desahan nikmat juga terdengar pelan dari mulut
Esther. Aku menjadi geli sendiri dengan kelakuan Esther
itu. Bagaimana tidak..? Esther menyanyi tapi diselingi
rintihan dan desahnan nikmat, lagu yang dinyanyikannya
jadi tidak karuan.
Begitu Esther tahu aku tersenyum geli, dia menegurku,
"Kenapa sih..?"
Aku menjawab sambil mulutku tetap menghisap putingnya,
"He.. he.. nggak apa-apa, lagu Kamu fals..."
"Uu-uhhh jahat..! Habis gimana dong..?" ucapnya pelan.
"Ya udah.., terusin aja, nggak apa-apa..." jawabku
sekenanya.

Kembali mulutku mengulum puting Esther yang semakin
keras, terasa di jepitan bibirku. Perlahan namun pasti,
tanganku mulai turun ke arah perutnya dan terus ke arah
pangkal pahanya.
Begitu tahu apa yang akan aku lakukan, Esther kembali
melarangku, "Mas.., jangan Mas.., udah nggak usah ke
bawah-bawah segala, pleasee..!" sambil tangan kirinya
mencengkeram pergelangan tangan kananku.
Tapi apalah artinya tangan sekecil itu melawan tanganku
yang kekar. Nyatanya, yang kurasakan tangan itu bukannya
melakukan perlawanan, namun malah seperti mengarahkan
jari-jari di tanganku ke arah pahanya terus menerobos
masuk ke selangkangannya melalui bagian celana pendeknya
yang longgar itu.

Sekarang mulutku pindah ke arah lehernya sambil
kubisikkan pelan, "Kamu bilang jangan, tapi kok diam
aja..?"
Esther hanya mendesah ketika jemariku mulai menyentuh
secarik kain yang sudah basah dan masih menutupi bagian
terlarang selangkangannya, "Makanya.., ouuhh.., jangan
dong Mas.., shhh... Aku takut nggak bisa nolak..!"
Mendengar kata-kata itu, aku justru semakin berani
menyusupkan jari-jariku melewati jepitan celana dalam
Esther. Dan sedetik kemudian, kurasakan kebasahan yang
tersentuh jariku pada bibir kemaluannya.
Kutatap matanya yang sekarang setengah tertutup sayu
sambil mulut seksinya setengah terbuka, mengeluarkan
desahan pelan, "Ouuhhh Masss.., what should I do..?"

Akhirnya dia menyerah atau memang sebenarnya sudah
sangat bernafsu, mengharapkan tanganku beraksi lebih
jauh lagi. Tidak kubiarkan kesempatan itu, walau di
dalam hatiku sendiri masih diliputi perasaan deg-degan,
takut seisi rumahnya terbangun. Perlahan jari tengahku
menyusup masuk ke lorong kemaluan Esther yang sudah
terasa licin sambil ibu jariku memainkan bagian ujung
atas pada vaginanya. Esther hanya bisa merintih
keenakkan begitu jariku semakin masuk, menerobos lubang
kemaluannya. Sementara tangan Esther kemudian seperti
refleks, meremas batang kemaluanku yang masih tersimpan
rapih di balik celana jeansku.
"Masss.., aduhh Mas..! Uuhh.., God..! Sshhhtt...
uuff..." sepertinya rintihan Estherterdengar lebih
keras, cepat-cepat kubungkam dengan melumat bibirnya
yang memang terlihat sudah siap itu.
Dengan begitu suara rintihannya hanya terdengar di dalam
mulutku.

Tetapi tiba-tiba dia melepaskan ciumanku, lalu Esther
berkata pelan, "Masss... celanaku basah nih, dibuka aja
kali ya..?"
Aku pun menjawab tidak kalah pelannya, "Cepet amat
sih..? Belum-belum udah banjir..!"
Esther hanya bisa menyungut, "Salah mas juga lagi..!
Kenapa udah 2 minggu Mas nggak ngasih jatah ke Aku,
perasaan 2 hari yang lalu Aku udah minta, tapi Mas Pram
aja yang nggak tahu..!"
Aku hanya tersenyum menanggapi perkataannya. Lalu aku
berusaha melepas celana pendeknya sambil dibantu oleh
Esther. Sementara itu, kami berdua kompak melirik ke
arah ruangan dalam, siapa tahu ada yang bangun. Aman..!
Wah kalau sampai ada yang bangun, bisa berabe nih
urusannya.

Begitu celana pendek itu terlepas, Esther menatapku
sayu, "Udah..? Yang ini aja..? Yang satunya dibiarin
aja, apa gimana..?"
Aku pura-pura bego, "Dibuka juga..?"
Kembali Esther menyahut, "Iihh.., norak..! Udah tanggung
lagi..! Ayo.., dibuka juga..!"
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, aku menuruti
kemauannya. Dengan terampilnya kupelorotkan celana dalam
itu, sementara Esther mengangkat pinggulnya untuk
membantu kemudahan tanganku melepas celana dalamnnya
yang berwarna merah. Celana dalam yang sudah terlepas
itu aku ciumi dengan hidungku sambil kujilati kebasahan
yang lengket disitu.
Melihat ulahku, kontan Esther protes, "Apa-apaan sih
Mas..? Jorok deh ihh..! Ketimbang nyiumin yang itu,
kenapa nggak yang aslinya aja dicicipin..?" sambil
tangannya merebut celana dalam miliknya yang sudah basah
dan ternoda itu dari genggaman tanganku.

Sambil tersenyum penuh arti, aku menyahutnya, "Boleh..!
Siapa takut..? Udah lama kayaknya nggak ngerasain..,
hmm.. lendir Kamu..."
Esther menanggapinya dengan tersenyum nakal, "Iya nih..!
Udah lama kan lidah dan mulut Mas Pram nggak menengok
punyaku..? Tuh.., liat tuh..! Dia kan juga kangen sama
mulut Mas Pram, dijilat, dicium, diemut, pokoknya dia
ketagihan lho sama mulut Mas.., apa Mas Pram nggak
kasihan sih..?"
Mendengar kata-kata erotisnya, birahiku semakin
terbakar, "Iya sayang.., mulutku juga haus nih pingin
ngerasain lagi lendir Kamu itu."
Esther sekarang mulai merebahkan tubuhnya di karpet
sambil bertumpu pada kedua siku tangannya, kedua kakinya
ditekuk ke atas, terlihat di selangkangannya mengintip
bulu–bulu halus yang masih menutupi lubang kemaluannya
yang harus kuakui benar-benar membuatku mabuk kepayang.

Seperti hendak memancing gairah kelakianku, Esther
memainkan pahanya dengan membuka dan menutup pahanya.
Aku menjadi gemas karenanya. Tanpa perlawanan berarti
dari Esther, aku menyibakkan lutut di kakinya dan
langsung mengarahkan kepalaku ke daerah selangkangannya.
Tanpa basa-basi lagi, aku mulai menciumi rambut halus
yang tumbuh di daerah pubisnya. Lidahku menjalar ke
bawah, mengikuti garis lipatan pangkal pahanya. Dan
aroma kemaluan Esther pun sontak merebak tertangkap oleh
indra penciumanku. Sejujurnya harus kuakui juga aroma
dan bau khas lubang vagina Esther benar-benar membuatku
sering tidak bisa tidur. Untuk memudahkan aksiku, aku
memposisikan tubuhku dengan tengkurap, sementara kedua
tanganku menyusup di bongkahan pinggul Esther, lalu
pinggul itu aku angkat hingga lubang kemaluan Esther
sejajar tepat di depan wajahku.

Pinggul Esther yang sudah terangkat itu, kusangga oleh
kedua siku tanganku yang menempel di lantai. Sementara
kaki kiri milik Esther menjuntai di punggungku dan yang
kanan disandarkan di atas meja, di dekat situ. Dengan
posisi seperti itu, sekarang aku jauh lebih leluasa
menggarap semua bagian selangkangan Esther yang tepat di
depan wajahku itu. Tidak lupa aku dan Esther tetap
bergantian memantau ke arah ruang tengah untuk
menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Bisa kacau
kalau ketahuan sama keluarganya. Lidahku sekarang mulai
menyapu bagian bibir luar kemaluannya diiringi erangan
nikmat dari mulut Esther. Sambil tetap tanganku
menyangga pinggulnya, ibu jari di kedua tanganku mencoba
membuka lebih lebar liang kemaluan Esther yang sudah
merah itu. Kemudian aku mulai menjulurkan lidahku
menelusup masuk ke dalamnya.

Perlahan kujelajahi bagian demi bagian pada lubang
kemaluan Esther. Dari mulai lubang pantatnya, kemudian
naik terus melalui lorong surga milik kekasihku ini.
Terdengar rintihan lirih dari mulut Esther, "Ouufff..,
sshhh.., Goodd..! Yahhh... terus Masss... yaahh...
begitu.. Itil-ku dong Sayang..! Yaahhh... oouwww...
ffssttt..."
Memang saat Esther merintih itu, aku sedang memainkan
klitorisnya yang mencuat seolah mengharap kepada mulutku
untuk berbuat lebih liar lagi. Dari hanya menjilat dan
menyentil, mulutku mulai menghisap klitoris yang
bertengger di pucuk atas kemaluan Esther. Kuhisap
perlahan daging sebesar kacang itu dengan menggunakan
lidah dan bibirku. Sementara rintihannya berubah menjadi
jeritan kecil yang membuatku sedikit cemas membayangkan
seandainya seisi rumah itu terbangun.

Kuhentikan aksiku untuk memperingatkan Esther, "Heh..,
ssttt..! Jangan keras-keras... ngaco deh Kamu..!"
Sambil terus mendesah, Esther hanya bergumam, "Iya..,
aduuhh... ouhhh... abis Kamu pinter.., enakkhh banget,
tahu nggak sih..? Terusin dong Sayang... jangan
berhenti... terus emut itil-ku yang keras..!"
Kembali aku menjilati belahan lubang kemaluan Esther
yang sedikit terkuak itu dengan irama yang teratur,
menelusuri lembah dan celah-celah di seantero lubang
kemaluannya, dan aroma harum vagina Esther yang khas
semakin tajam menusuk hidungku. Terlihat dinding luar
kemaluannya yang semakin basah dan lengket terasa gurih
di lidahku. Sedang klitorisnya terlihat semakin membesar
dan tambah memerah, seolah mau meledak menahan gejolak
nafsu birahi si empunya. Lalu aku kembali menuruti
kehendak Esther untuk mengemut bibir atas kemaluannya,
termasuk klitorisnya dengan irama yang lebih cepat dan
ganas.

10 menit sudah berlalu dan tanganku sudah terasa pegal
menyangga bobot tubuh bagian bawah Esther. Mungkin
karena nikmat yang dirasakannya semakin tinggi, dia lupa
untuk tidak membuat suara gaduh, aku sendiri pun jadi
tidak peduli, dengan semangat kupercepat irama hisapanku
pada bagian klitorisnya. Erangan dan rintihan Esther
semakin terdengar panjang, nafasnya memburu kencang,
tubuhnya kelojotan, gerakan pinggulnya semakin liar,
seolah semakin mengejar gerakan lidah dan mulutku.
"Ouuwww... nikmatnya... terus Sayang..! Yahhh... oohh
Goodd..! Yaahh.., yahhh... sedikit lagi Sayang... sshhh
ssttt, ouhh ufff... aduhh.., enak banget sih..! Sshhh...
yahh..." desahnya yang mulai terdengar lebih keras.
Aku sendiri berharap phenomena. Dimana dari lubang
kemaluan Esther akan menyembur lendir bening.

Tubuh Esther meregang hebat, pinggulnya semakin bergerak
tidak karuan dan kedua kakinya kejat-kejat, sementara
kepalanya mendongak ke atas, menandakan nikmat yang
dirasakan Esther semakin meninggi.
Dan benar saja, beberapa detik kemudian, "Sruuttt...
sreettt... crrutt..." menyembur cairan yang
kutunggu-tunggu itu menyerbu masuk ke dalam mulutku.
Dengan penuh nafsu, kuhisap dan kuhirup dalam-dalam
cairan hangat dan gurih yang mengalir memenuhi seantero
mulutku dan tidak kubiarkan setetes pun luput dari
hisapanku.
"God..! Aaww... yaa teruss... terusss emut... ouuww...
aduh nikmatnya..! Jangan berhenti Sayang..! Hisap lebih
keras..! Aahh... sshhttt.., emut terus, emut lebih kuat
Sayanggg..! Ouww sshhhtt... gila enak banget..! Ya
Tuhan... owwhhh.. yaahhh... yaaaahhh..." jeritan kecil
Esther terdengar panjang mengiringi puncak orgasme yang
dialaminya, setelah sekian lama tidak mendapatkannya
dariku.

Terlihat bibir kemaluan dan klitorisnya tambah merah dan
sepertinya berdenyut-denyut, menandakan detik-detik
dimana Esther sedang mengalami perasaan yang melayang
tinggi dihempas badai kenikmatan duniawi lewat sentuhan
lidah dan bibirku. 1 menit pun berlalu setelah Esther
mengalami puncak kenikmatan yang baru saja dialaminya.
Aku sendiri masih giat menjilati sisa–sisa cairan yang
menetes mengalir keluar menyusuri belahan liang vagina
milik Esther itu.
"Ouhh.. Mas.. aduhh.., bener-bener deh aku.. aku puas
banget..! Ouh.., sshh.. Kamu memang luar biasa Masss..!"
pujinya di tengah-tengah puncak kenikmatannya.

Kemudian kulepaskan bibir dan lidahku pada kemaluannya,
dan kurebahkan pinggulnya di lantai. Lalu dari mulutku
kukeluarkan cairan yang tadi memenuhi mulutku, kutampung
dengan telapak tanganku. Kuperlihatkan kepada Esther
cairan berupa lendir bening agak kental di depan
wajahnya.
Sontak dia kaget, "Apa-apaan sih Mas..? Itu cairanku..?
Iihh.., jorok ahh..! Sini Aku bersihkan..!"
Aku menghindar, "Jangan Sayang, aku cuma mau kasih tahu
aja ke Kamu.., ini lho lendir Kamu, enak aja dibuang."
Lalu kuseruput cairan itu dari telapak tanganku sampai
habis, kujilati bekas-bekas lendir yang masih menempel
pada jari dan telapak tanganku. Kukecap-kecap dengan
penuh perasaan, seolah aku baru meresapi sesuatu yang
terlezat dan tergurih yang pernah aku rasakan. Esther
hanya bengong dan meringis menatap ulahku barusan.

Sambil merapihkan pakaiannya yang sudah acak-acakkan,
dia bertanya, "Mas, apa Kamu nggak jijik sih..? Apaan
sih rasanya..? Enak, apa..? Kok kayaknya sampai begitu
amat..? Tapi.. Aku jadi nafsu lagi lihat Kamu kayak
gitu."
Esther melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak
perlu kujawab, tapi aku coba menanggapinya, "Kan Aku
pernah bilang ke Kamu, belum pernah Aku rasakan cairan
wanita sesegar dan seenak yang Kamu punya..."
Kemudian Esther menyambung, "Tapi mas, eeeng.., Mas Pam
kan belum keluar, Aku keluarin sekarang ya..?"
Aku tidak langsung menjawab, kulirik arlojiku, wah udah
hampir jam 12 malam. Lalu kukatakan kepadanya, "Besok
aja deh, sekarang udah malem, nggak enak, ntar kalau
Ayah bangun, gimana..?"

Dalam hati, aku sendiri pun sebenarnya ingin juga sih.
Tetapi seperti bisa membaca pikiranku, Esther langsung
menukas, "Allaaa... nggak apa-apa kok, makanya jangan
berisik..!"
Mendengar omongannya barusan, aku langsung membantah,
"Yee.. orang Kamu dibilangin jangankeras-keras malah
Kamu yang menjerit, kan Aku yang minta jangan
keras-keras."
Esther tersenyum geli, "Iyaa.. habis mulut Mas ini lho
yang nggak kuat Aku menolaknya. Ayo dong..! Mau ya..?
Soalnya Aku nggak mau punya hutang nih..!" Esther
mencoba merayu.
Aku pura-pura tidak mengerti, "Punya hutang apaan
sih..?" tanyaku pura-pura bego.
"Norak..! Kampungan..! Ndeso..! Sini..!" sungutnya
sambil pura-pura cemberut.
Tetapi habis ngomong begitu, tanpa kuduga tangan Esther
mengarah ke arah kemaluanku, dengan terampilnya sudah
membuka resletting celanaku. Dan tanpa kesulitan, batang
kemaluanku pun sudah dalam genggamannya.

"Kamu tau nggak sih..? Aku juga kangen kamu." Esther
berkata begitu sambil tangannya yang satu menunjuk ke
arah batang kemaluanku dan tatapannya juga tertuju ke
arah yang sama.
Aku jadi tersenyum geli melihat tingkah polahnya.
Lalu dia melanjutkan, "Kamu kangen sama Aku juga, kan..?
Aku nggak mau kehilangan kamu, tau nggak..? Awas ya
kalau kamu main-main selain sama Aku, bilang sama boss
kamu,kalau kamu dilarang main-main sama yang lain,
kecuali sama Aku, gitu..!"
Aku mendengarnya semakin geli. Ada-ada aja anak ini.
Tapi sedetik kemudian, mulutEsther sudah dalam posisi
siap menerkam rudalku. Aku sendiri kaget, karena memang
tidak siap, lalu, "Sluuppp..." mulut Esther yang sudah
menganga itu melahap dengan lembutnya batang penisku.

"Ouuhh... sshhh..." gantian aku yang sekarang merintih
pelan, merasakan kehangatan dan kelembutan mulut
kekasihku ini pada rudalku.
Dijilat perlahan dari pucuk kepala batang kemaluanku
terus menelusur ke bawah, sampai mendekati kedua bola
pada pangkal kemaluanku. Demikian terus Esther menjilati
dengan matanya setengah tertutup, seolah dia memang
sedang menikmati makanan atau permainan yang sangat
digemarinya. Aku pun tambah kelojotan menerima perlakuan
lidah Esther yang hangat dan lembut menyapu setiap mili
kulit kemaluanku. Apalagi sekarang mulutnya mulai
mengenyot buah zakar-ku dengan lembut,bergantian kiri
dan kanan, sementara tangan kanannya tetap mengurut dan
meremas-remas batang kemaluanku.

"Yaahhh.. Sayang.. terusss... eehhh.. eesshhh.. essttt..
aduh.. enakkkhh Sayang..!" tanpa sadar keluar rintihan
nikmat dari mulutku, merasakan nikmat bercampur ngilu di
biji kemaluanku begitu diemut mulut Esther.
"Ehhmm.. mmhhh.. sruppp.. sleeppp.." sayup-sayup juga
terdengar bunyi dari batang kemaluanku yang makin ganas
dikenyot dan keluar masuk ke dalam mulut Esther, yang
bagiku terlihat seksi jika sedang menggarap batang
rudalku itu.
Mungkin karena refleks, tanganku pun mulai bergerilya
mengusap-usap pahanya yang masihpolos karena celananya
belum dipakai oleh Esther. Kemudian terus naik ke atas,
sampai tersentuh lagi di jariku bulu-bulu kemaluan
Esther dengan segala kehangatan dan kebasahan yang
sepertinya mulai membanjir lagi keluar dari lubang yang
barusan habis dilumat mulutku.

"Ouuhhh.. aauufff.. ssttt... sshh.. yahh.. Aku pingin
lagi Mas.. sshh.." si Esther pun seperti tidak mau kalah
merintih keenakkan, sementara tangannya terus mengocok
kemaluanku.
"Aduuuhh... Mas.. dimasukkin aja ya..?" sepertinya dia
sudah tidak sabar ingin lubang kemaluannya segera
dicolok oleh batang kemaluanku.
"Hahh..? Gila Kamu..! Ntar gimana..? Terus siapa yang
mengawasi, siapa tahu ayah atau ibu ntar bangun lho..?"
kataku khawatir.
Esther tidak langsung menjawab, dia malah memposisikan
tubuhnya naik di pangkuanku dan batang kemaluan yang
masih digenggamannya itu diarahkan ke liang vaginanya.
"Bodo ah Mas..! Aku nggak peduli..! Kalau emang ketahuan
sama Ayah, biar sekalian aja Kita dikawinin..." ucap
Esther yang memang sudah sangat bernafsu ingin merasakan
hunjaman batang kemaluanku menusuk-nusuk liangnya yang
semakin banjir.

"Kamu emang geblek Ther..! Ngaco..!" kataku setengah
membentak pelan, walau sebenarnya di dalam batinku
memang ingin merasakan juga jepitan lubang kemaluan
Esther meremas-remas batang kemaluanku.
Bukanya menjawab, Esther malah membimbing batang
rudalku, lalu mulai menancapkan rudalku di belahan
lubang vaginanya sendiri yang sudah setengah terbuka
itu. Sementara dengan posisi jongkok di atas pangkuanku,
batang kemaluanku itu oleh tangannya diusap-usapkan
dahulu di mulut kemaluannya sendiri. Terasa di kepala
kemaluanku kebasahan yang menempel dari kemaluan Esther.
Esther menyambung pembicaraannya, "Biarin..! Mau geblek
kek, mau gila kek, Aku memang gila.., gila akan punya
Mas ini. Emang cuma Mas aja yang nggak bisa tidur, Aku
juga sering nggak bisa tidur membayangkan ini-nya Mas
kalau menembus punyaku... uuuhhh... Aku nggak kuat
Mas... nggak tahan ingin merasakan lagi ini-nya Mas..,
oouuhhh Godd..! Yess.. esshhtt.." kata-katanya terputus
begitu tubuh Esther bergerak turun, yang membenamkan
rudalku menerobos masuk ke liang kemaluannya sendiri.

Perlahan, rudal sepanjang 16 cm milikku itu menggelosor
masuk menjelajahi setiap mili dinding kemaluanya sampai
ujung kepala kemaluanku menyentuh mulut rahimnya.
Didiamkannya sesaat batang kemaluanku tenggelam
seluruhnya di dalam liang vagina Esther yang hangat.
Dibiarkannya mulutkumenghisap lagi putting di kedua
payudaranya.
"Adduuhhh.. Mas.. sshh.. akhirnya aku ngerasain lagi
punya Mas masuk ke punyaku. Mass.., sshh.. coba rasain
ya.., gimana rasanya..?" kata-katanya menjadi tidak
jelas.
Aku jadi bingung dengan perkataan Esther barusan. Tapi
dua detik kemudian, kurasakan denyutan lembut dengan
irama teratur, liang kemaluan Esther seperti meremas dan
menggigit-gigit sekujur batang kemaluanku. Kontan aku
merasakan nikmat surgawi yang baru kali ini kurasakan
demikianhebatnya.

"Iihh... ssshhtt... kok enak sih Sayang..? Ouhhh..,
belajar dari mana heh..? Oouhhh.. shhh.."
Esther hanya terlihat tersenyum melihat tingkahku yang
kelojotan menerima denyutan dari lubang vaginanya di
kemaluanku. Sesaat kemudian, Esther mulai menggerakkan
pelan pinggulnya naik turun, otomatis rudalku juga
keluar masuk dalam dekapan bibir kemaluannya.
"Ouuhhh Mas, rasanya punya Mas tambah gede.. esshhtt..
bener nggak sih.? Sshhh.. yaahhh, abis.. punyaku..
sshhtt.. seperti ouhh.. sshhh.. seperti nggak muat..
Yaahh., habis deh memekku... oouuuhh.. eeshhh... tapi..
aduuhh, tambah enak Mass.. sshhh... yahh.. ouuff
Godd..!" kata-katanya terdengar terputus-putus diselingi
desahan nikmat yang membuatku tambah bernafsumenuntaskan
keinginan Esther.

Aku sendiri membantunya dengan menggerakkan pinggulku
naik turun seirama tubuh Esther yang juga bergerak naik
turun. Sementara, di pusat kenikmatan kami berdua itu
terdengar kecipak-kecipak cairan yang keluar lagi dari
kemaluan Esther membanjiri dan membasahi batang rudalku.
10 menit berlalu, masih dengan posisi seperti itu,
terlihat Esther kelelahan, keringatnya melumasi seluruh
tubuhnya, lalu tubuhnya ambruk menindihi tubuhku.
Kuambil inisiatif untuk kembali menggerakkan tubuhnya,
tapi sekarang gerakan itu dibantu kedua tanganku
memegang pinggul Esher dan kugerakkan naik turun sambil
kuimbangi juga dengan gerakan pinggulku naik turun
membentur bongkahan pantatnya. Desahan dari mulut Esther
kembali terdengar keras, mengiringi kelakuan kami di
tengah malam buta itu.
"Terusss.. Mass.. sshhhh.. terusss... yaahhh... Aku..,
aduuhh yaahhh... Aku mau... oouuhhh God..! Aku mau
keluar lagi Masss... yahh.. yaahhh.. sshhtt..
yaahhhh..." rintihan panjang terdengar lagi dari mulut
Esther sambil memelukku erat dan jepitan kemaluannya
terasa semakin keras berdenyut mendekap batang
kemaluanku.

Sementara itu, kedua bola mata Esther hanya terlihat
putihnya saja dan kuku-kuku di jarinya mencengkeram
pundakku erat-erat. Aku sadar beberapa detik lagi Esther
pasti akan menembus batas pintu gerbang kenikmatan
duniawi yang kedua kalinya. Semakin kupercepat tanganku
menggerakkan pinggulnya naik turun.
"Terus Mas... Aku enak banget..! Yaahh.. yaaahhh..
Gooddd..!" tubuh Esther kejang-kejang seperti orang
kesurupan, matanya sekarang tertutup rapat dan mulutnya
terlihat setengah terbuka hanya mengeluarkan desisan
panjang, menandakan Esther sedang mengalami detik-detik
dimana dia sudah hilang, Sadar tergantikan oleh serbuan
kenikmatan dahsyat.
Terasa olehku lelehan lendir yang keluar dari liang
kemaluan Esther menerobos melewati celah-celah sempit di
antara dekapan dinding dan bibir kemaluannya menjepit
batang rudalku, terus menetes membasahi celana
panjangku.

"Enak sayang..? Heh..? Enakkkhh..? Punyamu.. ouhh..
bener-bener deh.. sshhhtt.. seperti meremas punyaku..,
adduhh.. ssttt.. Aku juga ngerasain enak diemut sama
punyamu ini." kataku menghiasi puncak kenikmatannya.
Aku pun mengerang keenakkan sambil terus menggerakkan
tanganku menaik-turunkan pinggul Esther guna membantu
batang kemaluanku memompa lubang vagina Esther.
"Ayo dong Sayang..! Uufff.. ssshhh.. cepetan.. aduuhh..
Aku udah nggak kuattt.. aduuhh..! Gila..! punya Mas
seperti tambah gede sih..?" kata-kata Esther diselingi
rintihan nikmat itu seperti memacu semangatku untuk
segera menuntaskan permainan kami kali ini.
Aku pun sepertinya sudah akan mencapai ujung dari
penantianku akan kenikmatan sejati yang sebentar lagi
akan kuraih.

Semakin kupercepat gerakan keluar masuk batang
kemaluanku di antara jepitan dan denyutan lubang
kemaluan Esther.
Namun tiba-tiba Esther menjerit lagi, "Aduuuhh.. Mas..,
Aku.. Aku mau keluar lagiii..! Yahhh... Masss..! Enak
sekali..! Aawww.., sshhh.. Ya Tuhan..! Aku, Aku..,
akkhhh... Aku keluaarrr... aaarrcchhhh.."
"Hahh..? Gila bener cewek ini..!" kataku dalam hati,
"Masa belum ada satu menit Dia sudah keluar lagi..? Aahh
bodo amat..!"
Aku sedang berkonsentrasi dengan diriku sendiri untuk
mendapatkan puncak kenikmatanku sendiri. Tidak
kupedulikan cairan lendir yang kembali keluar deras dari
sela-sela dekapan kemaluan Esther, yang membuat celanaku
semakin basah. Lendir bening itu membuat liang kemaluan
Esther semakin licin dan becek dan semakin terdengar
keras kecipak air lendir di kemaluannya ketika rudalku
semakin cepat dan ganas menghantam lubang kemaluan
Esther bertubi-tubi.

"Adduuhh.. ampun Mass.. cepetaaaann... Aku nggak kuat..!
Oouwww... yaahh... Cepetan dooong..! Gilaaa..! Mati dah
Gue..! Sshhh..." Esther menjerit sejadinya, dikarenakan
badai kenikmatan yang dirasakannya datang bertubi-tubi
menyerang dirinya.
Mendengar Esther menjerit begitu, aku langsung menerkam
mulutnya dengan bibirku untuk menghindari seisi rumah
itu terbangun mendengar jeritan Esther.
"Mffhhh... eemmmhhh... uuhhh... eeemmffhhh..." jeritan
itu sekarang hanya terdengar di dalam mulutku, dan aku
pun mulai merasakan rambatan kenikmatan yang terasa di
batang kemaluanku mengalir menuju pucuk di kepala
kemaluanku.
Benar saja, detik-detik dimana seorang laki-laki akan
menyemprotkan air maninya segera akan kualami. Aku pun
terbang ke alam bawah sadar dibuai badai kenikmatan
sejati.
"Ya Tuhannn..! Nikmat sekali.., oohhhh..." jeritku dalam
hati, karena mulutku sedang melumat bibir Esther.
Batang kemaluanku seolah mau meledak mengeluarkan semua
isinya dan terasa berdenyut-denyut keras, lalu tanpa
bisa kutahan lagi, "Serrr... sreett... seerrett...
srrett... serrr..." entah berapa kali spermaku menyembur
di dasar lubang kemaluan Esther.

Gerakan keluar masuk rudalku perlahan kuperlambat
iramanya, sampai akhirnya berhenti sama sekali. Kemudian
kulepaskan tanganku dari pantatnya. Baru terasa pegal di
sekujur lenganku yang sudah 10 menit menggerakkan
bongkahan pinggul Esther. Dan kubiarkan batang
kemaluanku terbenam dalam dekapan lubang kemaluan Esther
yang nyaman dan sudah banjir cairan spermaku bercampur
lendirnya sendiri.
Kulepaskan lumatan mulutku di mulut Esther, langsung
pecah rintihan Esther berbarengan dengan eranganku,
"Mmhhuaahh.. Masss... oouufffsshhh... Gilaa..! Enak
banget..! Eehh.., Kamu keluar Mass..?" tanya Esther
masih diselingi desahannya.
Aku mengangguk. Sambil masih merasakan detik-detik pasca
orgasmeku, kujawab dengan nafas yangmasih memburu,
"Iyaahh.. oouhhh.. eeesstt.. oouuwwhhh.. kok tahu
Sayang..?"
Sambil tersenyum nakal dia menjawab, "Hhmm... punya Mas
nyemprot buanyaak.. banget..! Kerasa kok di punyaku,
hangat..."

Tiba-tiba Esther bangkit dari pangkuanku, dan otomatis
terlepaslah batang rudalku dari kehangatan lubang vagina
milik kekasihku ini. Lalu dia berdiri, bergerak melewati
tubuhku sambil mengarahkan telapak tangannya ke bawah
selangkangannya menutupi daerah kewanitaannya.
"Takut ntar sperma Mas jatuh ke karpet..." begitu
alasannya.
Kemudian dia berjongkok di sampingku sambil tetap
telapak tangannya masih menutupi selangkangannya,
kulihat dari lubang kewanitaanya itu keluar menetes
deras spermaku tadi. Ditampungnya air maniku yang putih
kental itu dengan telapak tangannya.
Aku hanya terbengong melihat kelakuannya, "Ngapain
sih..?" tanyaku heran.
Esther bukannya menjawab, malah tersenyum penuh arti
menatapku.

Ada 3 menit dia begitu, sampai akhirnya dia melepas
tangannya dari situ. Kulihat jelas cairan spermaku yang
tertampung di telapak tangannya yang mungil.
Dibauinya spermaku itu, seolah dia baru mendapatkan
harta karun yang sangat berharga, "Nih Mas... sperma
Kamu, harum ya baunya..? Kayaknya lezat deh..!" Esther
seperti berbicara pada dirinya sendiri sambil
menunjukkan air maniku di depan wajahku.
Aku semakin keheranan dengan semua kelakuanya itu.
Tetapi apa yang dilakukan Esther sungguh di luar dugaan,
cairan kental itu langsung diarahkan ke mulutnya dan
dihirup sedemikian rupa dan ditelannya sampai ludes.
Bukan itu saja, Esther juga menjilati telapak dan jari
di tangannya, seolah tidak rela ada setetes pun cairan
spermaku tersisa.

Dan belum hilang rasa kagetku, disambarnya batang
kemaluanku yang sudah mulai mengkerut itu dengan
tangannya.
"Mau ngapain Ther..?" tanyaku tersekat tenggorokanku
terkejut melihat ulahnya.
Tanpa menjawab apa-apa, Esther menurunkan kepalanya ke
arah selangkanganku dan kemaluanku sudah tenggelam di
dalam mulutnya. Dijilatinya kulit di sekujur batang
rudalku itu dari mulai puncak di kepala kemaluanku
sampai ke pangkalnya yang di situ masih melekat sisa air
maniku bercampur cairan lendirnya sendiri. Beberapa saat
kemudian, Esther menyudahi aksinya, lalu dikecapkannya
lidahnya, seolah dia masih belum puas dengan hidangan
yang barusan dinikmatinya.

Memang sekujur batang kemaluanku terlihat sudah bersih
karena baru saja dijilat Esther.
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya,
"Ampuunn deh Kamu! Ckk.. ck.. Aku nggak bisa ngomong
apa-apa eh.. Ther, kan di situ ada lendir Kamu juga..?
Wah bener-bener dehh... Aku baru melihat ada wanita
kayak Kamu..."
Esther dengan enteng menukas, "Biarin..! Sperma Mas
campur lendirku, enak lho Mas..! Lagian tadi Mas juga
begitu, hayo..! Ngapain lendirku diminum..? Aku juga
pingin kan ngerasain sperma cowok kayak apa..?"
"Lho..? Emang sama suami dulu Kamu belum pernah..?
Maksudnya belum pernah ngerasain spermanya..?" tanyaku
penuh selidik.
"Tau nggak Mas..? Setiap em-el sama suamiku dulu, Aku
jarang puas, apalagi sampai mau menjilat dan mau menelan
lendir kemaluanku, uuhh... boro-boro..! Lagian kalau Aku
sama suamiku dulu, Aku nggak pernah mau menelan
spermanya, kayaknya mau muntah, gitu, nggak tau
kenapa..? Terus terang Mas, sperma Mas enak, gurih,
manis nggak bau apek, bikin Aku ketagihan..!"

Aku menggodanya, "Allaaa... masak sih..?"
Dengan serius Esther menanggapi godaanku, ditatapnya
mataku dalam-dalam sambil berkata, "Ngapain sih Aku
bohong, Mas..? Kalau Mas Pram saja mau memperlakukan Aku
demikian, itu suatu sensasi tersendiri buatku, Aku belum
pernah diperlakukan demikian Mas.., Aku merasa seperti
wanita yang sangat dihargai, dihormati..! Kenapa Aku
nggak bisa mengimbanginya..?"
Kata-katanya terdengar pelan bercampur dengan isakan
tangisnya. Aku jadi tertegun, tidak mengira dia jadi
begitu. Kemudian dia melanjutkan, "Mungkin karena Aku..,
Aku sangat mencintaimu Mas. Kadang Aku menyesal,
harusnya Aku kenal Mas lebih dulu dari dia, biar Aku
merasakan nikmatnya menikah dengan Mas, Aku nggak mau
kehilangan Mas, jangan tinggalin Aku, Mas..!"
kata-katanya ditutup dengan isakan tangisan yang
mengharukan.

Dengan pakaian yang masih acak-acakkan, kurengkuh tubuh
mungilnya, kedekap dia erat-erat, kubiarkan dia menangis
di dadaku. Kuelus rambutnya sambil kukecup keningnya.
Aku menghibur Esther agar kekasihku ini jangan sampai
terlarut dalam kesedihannya.
"Ya Sayang... Aku mengerti, Aku janji, Rian akan
mempunyai ayah baru, yang lebih bertanggung jawab, lebih
pengertian, saleh, yang setia dan mau berkorban demi
keluarganya..." kataku berusaha menenangkannya.
Masih berurai air mata, Esther menatapku sayu, "Siapa
ayah Rian yang baru itu Mas..? Aku mau memberinya ayah
seperti yang Mas katakan barusan itu, Aku mau Mas..!"
Kucubit pipinya yang basah oleh air matanya, "Kalau
ayahnya itu.. nngg.. Aku.. bagaimana..?"

Esther hanya terdiam, tetapi jelas di matanya makin
deras air matanya jatuh di pipinya.
"Aku nggak mau dibohongi Mas, Aku mau Mas serius, jangan
mempermainkan perasaanku, Mas..! Pleasee, Aku takut
kalau Mas hanya main-main sama Aku..!" katanya dengan
sendu.
Gantian aku yang menatap matanya dalam-dalam, "Tahu
nggak, Aku punya rencana memberi hadiah buat ulang tahun
Rian tahun depan, kamu tau hadiahnya..?"
Esther hanya mengerenyitkan dahi, menunggu kelanjutan
ucapanku.
Sambil kukecup pipi kirinya, kubisikkan pelan di
telinganya, "Aku mau memberikan adik buat Rian..!"
Sesaat Esther terpaku mendengar ucapanku tadi, sedetik
kemudian dia menghambur dalam pelukanku.
"Bener Mass..? Oohh... betapa bahagianya jika memang Mas
mau memberi Rian seorang adik, berarti kita menikah
kan..?"
Aku tertawa mendengar kata-katanya, "Emang Aku mau apa,
punya anak haram..? Lho iya dong,Kita menikah Sayang..."

Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 01:15 dini
hari, wah gawat nih. Lekas-lekas kulepaskan tubuhnya,
kemudian kami pun berbenah merapihkan baju dan tempat
yang baru saja terjadi pergumulan dahsyat itu.
Aku tertegun mendapati celana panjangku basah kuyup,
kutatap sesaat bagian yang basah itu, lalu kualihkan
menatap matanya, entah seperti ada komando, kami tertawa
geli, kukatakan kepadanya, "Busyeet dah..! Sampai kayak
gini, seperti habis kecebur kolam aja."
Esther mencubit lenganku keras, sambil menyungut, "Iya
nih, Aku sampai dehidrasi..! Kekurangan cairan tubuh..!"
Tidak lama kemudian, aku pamit pulang dengan sejuta
kenangan yang akan aku simpan selamanya.

Sampai 4 bulan kemudian, kami pun pisah, karena memang
pada dasarnya aku tidak bisa menerima kondisi Esther
yang janda beranak satu. Kukenalkan dia dengan salah
satu temanku yang juga duda, dan tidak lama kemudian,
mereka menikah dan Esther keluar dari kantorku sebulan
sebelum dia menikah. Sampai saat ini pun, aku masih
terbayang dengan wanita bekas karyawanku itu, yang
pernah memberikan sesuatu pengalaman menarik tersendiri,
walau sekarang dia sudah menikah. Tapi
pengalaman-pengalaman bersamanya masih tetap terpatri di
lubuk hatiku yang terdalam.

No comments: