Monday, May 7, 2007

SAHABAT X

Sudah beberapa bulan berlalu sejak Mei memperkenalkan Yen kepadaku. Sejak itu
kedua wanita Cina yang cantik dan bahenol ini menjadi partner seksku. Secara
rutin kami bertemu untuk bersetubuh dan memuaskan nafsu birahi. Kebanyakan kami
berkumpul di rumah Mei di bilangan Margorejo (baca ceritaku sebelumnya: Hadiah
Ulang Tahun Yang Mengejutkan 1 dan 2). Keduanya seperti tak terpuaskan. Apalagi
Yen. Nafsunya yang besar itu seperti tak ada habisnya. Permainan ranjangnya
sungguh-sungguh menggairahkan, sehingga selalu ada kegembiraan dan kebanggaan
tersendiri setiap kali aku menggumuli, menyetubuhi dan memuaskan nafsunya.
Satu hari Jumat, jam istirahat makan siang. Bersama seorang teman aku meluncur
ke Delta Plaza. Ketika lagi asyik menyantap mie goreng, ada SMS masuk ponselku.
Ternyata dari Yen.
“Kho Ardy, aku di meja pojok kanan. Buat aja seperti nggak kenal, ya.”
Aku menoleh ke pojok kanan itu. Yen ada di sana bersama sekelompok teman wanita.
Ada enam orang, semuanya Cina. Wow.. Cantik-cantik dan mulus-mulus. Mereka
bercerita sambil tertawa-tawa dengan ceria. Yen melirik ke arahku sambil menulis
SMS di ponselnya. Beberapa detik kemudian ada SMS masuk lagi.
“Pilih aja yang Kho Ardy suka.”
Aku tak dapat lagi berkonsentrasi pada makan siangku. Mataku meneliti para
wanita itu satu persatu. Aku lalu teringat percakapanku dengan Yen dan Mei satu
malam setelah bersetubuh dengan keduanya.
“Aku sudah punya dua wanita Cina yang cantik dan seksi”, kataku.
“Kapan dua ini akan bertambah menjadi empat?”
“Kho Ardy pingin tambah lagi”, kata Yen di luar dugaanku.
“Mudah, Kho. Akan Yen atur. Mau tambah dua atau berapa, terserah Kho Ardy aja.”
“Nggak usah khawatir”, lanjut Mei.
“Akan ada saatnya hadiah baru lagi. Tapi harus hemat-hemat tenaganya. Soalnya
wanita Cina itu nafsunya gede-gede. Haha..”
Aku tak menduga kalau guyonan itu akan menjadi kenyataan. Berarti Yen
sungguh-sungguh akan menepati janjinya. Mataku menangkap yang duduk di sebelah
kiri Yen. Wajahnya manis imut-imut. Pandangan sekilas jelas menunjukkan sosok
tubuhnya yang tinggi tetapi padat. Rambutnya panjang seperti punya Yen dibiarkan
tergerai.
Lalu mataku menangkap sosok yang membelakangiku. Wanita berambut pendek itu
jelas bertubuh padat. Kursi kecil merah yang didudukinya tak mampu memuat
pantatnya yang lebar itu. Yang lain-lain walaupun berwajah manis rata-rata
bertubuh agak kecil, tentu tidak masuk dalam kriteria seleraku.
“Yang di sebelah kiri dan yang di depanmu”, tulisku dalam SMS untuk Yen.
Kulihat Yen membaca SMS di ponselnya dan tersenyum sekilas. Ketika mereka
berjalan beriringan meninggalkan mejanya, aku memperhatikan satu per satu. Tidak
salah pilihanku. Si rambut panjang itu setinggi Yen. Rok sedikit di bawah lutut
dan blazer biru terang itu cukup memberi gambaran bentuk tubuhnya yang seksi.
Buah dadanya menonjol. Pantatnya bulat besar. Gambaran celana dalamnya sedikit
terlihat.
Yang berambut pendek sedikit lebih rendah. Pinggangnya ramping dan buah dadanya
besar. Dan pantatnya. Aduhai! Bulat besar dan bergoyang-goyang dengan indahnya.
Lebih besar dari pantat wanita yang tinggi itu, malah lebih besar dari pantat
Mei dan Yen. Aku menelan liur. Yen mengedipkan matanya sekilas sambil melirikku.
Mereka berlalu sementara teman makan siangku terus ngomong tanpa sadar apa yang
sedang terjadi. Kembali ke kantor aku tak dapat berkonsentrasi lagi. Kutelepon
Yen.
“Gimana tadi?” tanyaku.
“Aku mau yang rambut panjang di sebelah kirimu dan si rambut pendek di depanmu
itu.”
“Sudah kuduga kalau Kho Ardy akan memilih yang itu”, katanya sambil tertawa
kecil.
“Keduanya memang sesuai selera Kho Ardy. Yang berambut panjang namanya Dewi, 28
tahun. Yang berambut pendek namanya Fenny, seusiaku, 29 tahun.”
“Kapan ketemunya”, kataku tak sabar.
“Haha..” tawanya renyah.
“Udah nafsu nih ye”, lanjutnya menggoda.
“Habis, montok-montok segitu”, sahutku.
“Kho Ardy harus sabar karena perlu pendekatan. Begitu berhasil, Kho Ardy akan
kukabarkan. Saya yakin tak lama”, katanya berbisik-bisik.
“Tapi, sebelum ketemu mereka kan masih ada aku sama Mei yang selalu siap.”
Sesudah pertemuan itu, setiap kali bersetubuh dengan Mei dan Yen saya selalu
bertanya kapan bertemu si Dewi dan Fenny. Mei juga tidak berkeberatan bahkan
bermimpi dapat bermain berlima pada satu kesempatan nanti. Ternyata penantianku
tidak berlangsung lama. Tiga minggu sesudah SMS di Delta Plaza, suatu siang Yen
menelponku.
“Ada khabar gembira, Kho”, kata Yen dengan suara renyah.
“Dewi dan Fenny pingin segera kenalan dengan Kho Ardy.”
“Betul Yen”, sahutku.
“Siapa dulu dong yang ngatur”, sahutnya.
“Supaya puas, nanti Kho Ardy main aja sama Dewi dan Fenny dulu. Lalu nanti
berlima sama aku dan Mei kalau sudah memungkinkan”, kata Yen.
“Gimana baiknya?”, tanyaku.
“Hari Jumat besok Mei akan nginap di tempatku”, katanya lagi.
“Kalian pakai aja rumah Mei, biar aman.”
“Jadi Mei udah tau?” tanyaku.
“Yah, udah”, sahut Yen.
“Keduanya udah kenalan sama Mei. Mei setuju kok, makanya ia menginap di rumahku
biar kalian bisa leluasa bermain bertiga. Kami menanti Kho Ardy besok di sana.
Sesudah Kho Ardy datang, aku dan Mei pergi, biar Kho Ardy leluasa menikmati Dewi
dan Fenny.”
“Wuii.. Kamu hebat deh, Yen”, kataku.
“Tapi Sabtu malam tetap milikku dan Mei”, katanya.
“Hemat tenaganya, ya. Aku dan Mei juga mau puas-puas.”
“Ngomong-ngomong, gimana sih sampai mereka bisa mau?” tanyaku.
“Haha..”, Yen tertawa.
“Mudah kok. Mereka tahu kalau aku dan Mei itu janda-janda muda. Tapi kok selalu
berseri-seri setiap awal pekan. Tahu kan, maksudku? Mereka lalu bertanya. Yah,
kuceriterakan. Mei juga ceritera. Mei hebat promosinya seperti ceritanya dulu ke
aku. Lama-lama keduanya tertarik dan akhirnya pingin kenalan sungguh.”
“Udah kawin keduanya?” tanyaku lagi.
“Kawin sih udah”, sahut Yen sambil ketawa lagi.
“Tapi belum menikah. Nggak apa-apa kan? Masa mau cari yang perawan.”
“Ya, nggak”, kataku.
“Tapi mau keduanya main bareng bertiga?” tanyaku lagi.
“Jangankan bertiga, berlima juga mau”, sahut Yen.
“Nggak usah khawatir Kho, keduanya orang-orang yang santai kok. Kalau mau,
minggu depan kita main berlima aja. Kho Ardy dilayani kami berempat khan enak.”
“Terima kasih Yen”, kataku setelah yakin.
“Akan ada hadiah untukmu.”
“Apa itu?” tanyanya.
“Dua jam tambahan di ranjang”, sahutku.
“Iihh.. Maunya”, sahut Yen sambil tertawa.
Aku menutup telepon sambil tersenyum sendiri. Babak baru pengalaman seksku akan
bertambah lagi dengan hadirnya dua wanita ini. Aku membayangkan nikmatnya
bergumul dengan Dewi dan Fenny, kedua wanita cantik dan montok itu. Apalagi
kalau menggumuli empat-empatnya bergiliran dalam satu pesta seks, pasti akan
menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Tidak terasa, kemaluanku bergerak-gerak
dalam celanaku, seakan-akan sudah tidak sabar menantikan saat-saat nikmat
bersatu dengan Dewi dan Fenny yang cantik dan bahenol itu.
Jumat sore. Aku menuju rumah Mei dengan jantung berdebar-debar. Ada rasa bangga
yang menyelip di dadaku karena boleh menikmati kehangatan tubuh-tubuh wanita
Cina yang cantik-cantik itu. Sebaliknya ada rasa cemas juga, takut ditolak
karena tidak sesuai dengan harapan mereka. Maklum, usiaku sudah 39 tahun,
sebelas dan sepuluh tahun lebih tua dari Dewi dan Fenny. Apa jadinya kalau aku
dirasa kurang cakep dan ditolak? Wah, pasti malu sekali. Namun kupikir Yen dan
Mei tak mungkin berbohong. Bukankah keduanya sudah ketagihan dengan
kejantananku?
Di depan pintu pagar aku ragu-ragu sejenak. Setelah menarik nafas beberapa kali,
aku mendorong pintu yang tidak terkunci. Aku masuk dan mengancing pintu pagar
stainless still itu. Tanpa mengetuk, aku mendorong pintu depan. Seperti biasa,
kalau sudah ada janji pintu depan tidak dikunci. Aku mendorong pintu dan
melangkah masuk.
“Hi, sayang”, suara Mei menyambutku.
Astaga! Mei hanya mengenakan celana dalam dan BH kecil berwarna merah yang
membuat buah dadanya yang montok itu seperti akan meloncat keluar. Aku
terpesona. Mei yang sudah puluhan kali kugumuli itu tetap tampil menawan. Tetapi
yang membuatku terkejut ialah caranya berpakaian. Pasti yang lain-lain juga
berpakaian seperti itu.
Apakah aku akan dilayani keempat wanita itu sekaligus? Dengan mesra Mei mengecup
bibirku dan menggandengku masuk. Dan benar dugaanku, di ruang tengah telah
menunggu Yen, Dewi dan Fenny, ketiga-tiganya hanya mengenakan celana dalam dan
BH kecil. Memperhatikan tubuh-tubuh montok bahenol nyaris bugil itu, nafsu
birahiku langsung menggelegak butuh penyaluran. Kemaluanku langsung
berdenyut-denyut di balik celanaku, tidak sabar menanti saat-saat indah menyatu
dengan wanita-wanita Cina cantik bahenol ini.
Mei melepaskanku dan berdiri berjajar bersama Yen, Dewi dan Fenny. Aku tertegun
memandang keempat wanita ini yang mengenakan hanya BH dan celana dalam.
Keempat-empatnya memakai sepatu hak tinggi sehingga menambah seksi pemandangan
di depanku. Yen yang berdiri di sebelah Mei mengenakan celana dalam dan BH
berwarna hitam. Dadanya menyembul keluar dengan indahnya. Rambutnya yang panjang
dibiarkan tergerai. Di sebelah kiri Yen berdiri Fenny.
Ia mengenakan celana dalam dan BH berwarna abu-abu. Rambutnya juga panjang
tergerai sampai ke pantatnya. Dadanya menonjol ke depan, membusung dan dengan
indahnya menyembul dari BH yang kecil. Dan.. Pantatnya itu, aduhai besarnya.
Menariknya, pinggulnya cukup ramping untuk wanita dengan ukuran pantat
sedemikian besarnya. Dan akhirnya, di jangkung Dewi dengan rambut di bawah
pundak. Ia mengenakan celana dalam dan BH berwarna cream. Dadanya pun montok
mempesona dengan tubuh padat dan sintal. Pinggangnya melekuk dengan indahnya
menuruni pinggulnya yang digantungi dua bongkahan pantatnya yang lebar, walaupun
tidak selebar punya Fenny.

Dadaku berdegup kencang, mataku membelalak dan mulutku terbuka. Mimpi apa aku
semalam? Kupandangi keempat wanita Cina yang putih mulus, cantik montok dan
bahenol itu dengan nafas yang menderu-deru. Keempatnya tersenyum manis.
“Selamat datang ke dunia impian”, kata Yen dengan suaranya yang merdu.
“Semua ini milikmu”, sambung Mei.
“Nikmati sepuas hati.”
“Ayolah, Kho Ardy”, kata Yen manja.
“Kenalan dong, sama si Fenny dan Dewi. Katanya pingin kenalan dengan dua cewek
montok nan sexy ini. Ayo, kemarilah.”
Aku mendekat. Mei dan Yen mendekat dan mengapitiku di kiri dan kanan. Keduanya
bergayut di bahuku dengan buah dada mereka yang montok kenyal itu menempel di
lengan kiri dan kananku. Kedua wanita montok ini telah puluhan kali merasakan
kejantananku. Sekarang mereka ingin membagi kenikmatan dengan dua teman yang
lain. Aduhai! Dadaku berdegub-degub.
Fenny mendekat. Goyangan dada dan pantatnya saja sudah mampu membangkitkan
birahiku. Apalagi goyangannya di atas ranjang, pastilah membuatku terbang ke
awan-awan. Kuulurkan tanganku. Ia menyambutnya hangat. Kurengkuh tubuh montok
itu ke dalam pelukanku. Dadanya terasa empuk menempel di dadaku. Tanganku
melingkari pinggulnya dan meraih pantatnya yang besar itu. Kutekan pantatnya itu
ke arahku dalam gerak menyerupai persetubuhan. Fenny terkikik diiringi tawa Mei
dan Yen. Ketika kukecup bibirnya, terasa ada getar-getar birahi dalam desah
nafasnya yang hangat.
Lalu giliran Dewi. Jalannya anggun. Dengan postur tubuh setinggi itu ia lebih
layak menjadi peragawati. Buah dadanya yang putih mulus dan disangga oleh BH
kecil itu bergoyang-goyang dengan lembutnya. Sungguh pemandangan yang mengungkit
birahi terpendam.
“Senang berkenalan dengan Mas Ardy”, kata Dewi sambil menyambut tanganku.
Aku merengkuh tubuh sintal dan sexy itu ke dalam pelukanku. Ia menggeletar.
Ketika masih kunikmati dadanya yang empuk menempeli dadaku dan tanganku
meraih-raih pantatnya, ia mendaratkan kecupannya di pipiku. Mei dan Yen bertepuk
tangan.
“Nah, Kho Ardy”, kata Yen.
“Tugasku sudah selesai. Dewi dan Fenny akan menemanimu. Nikmati malam ini
sepuas-puasnya. Aku dan Mei akan pergi.”
“Dewi, Fen”, kata Mei.
“Kami pergi ya. Aku jamin deh, kalian berdua nggak bakalan kecewa. Malah
ketagihan nanti. Hati-hati, jangan lupa pulang lho, besok.”
Mei dan Yen segera berpakaian dan meninggalkan ruangan. Tidak lama berselang,
terdengar derum mobil Mei meninggalkan halaman rumah. Aku turun dan mengunci
pagar dan pintu depan. Ketika aku kembali, Dewi dan Fenny sudah menantiku di
pintu ruang tengah. Keduanya langsung menyerbuku dan mendaratkan
ciuman-ciumannya yang panas dan penuh gairah birahi terpendam. Aku sampai
kewalahan dibuatnya. Malam ini, Dewi dan Fenny sepenuhnya menjadi milikku. Aku
akan mereguk kenikmatan sepuas-puasnya dalam pelukan hangat keduanya.
Sambil merangkul keduanya, Fenny di kiri dan Dewi di kanan, kuajak keduanya
duduk di sofa ruang tengah. Di ruang inilah dulu aku berpesta seks pertama kali
dengan Mei dan Yen. Di ruang inilah pertama kali Mei dan Yen melayaniku dan
menjadi ketagihan sejak itu. Kini aku ingin agar di ruang yang sama ini Fenny
dan Dewi merasakan kejantananku dan selanjutnya menjadi ketagihan.
Tanpa kuminta, kedua wanita Cina yang cantik montok nan bahenol ini mulai
membuka pakaianku. Satu persatu dilepaskannya sehingga yang tertinggal hanya
celana dalamku saja. Kemudian serentak keduanya mendaratkan ciuman-ciuman di
pipi dan leherku hingga akhirnya mulut-mulut mungil dengan bibir-bibir sexy itu
mulai mengulum puting susuku, Fenny di sebelah kiri dan Dewi di sebelah kanan.
Aku mengerang-ngerang nikmat dan dengan segera tanganku bergerilya di
lekukan-lekukan tubuh keduanya. Kedua tanganku melingkar ke punggung Dewi dan
Fenny lalu melepaskan kaitan BH masing-masing. Terlepas dari BH, buah dada
keduanya yang memang besar dan montok mencuat keluar dengan indahnya. Warnanya
putih mulus dengan puting yang merah kecoklatan. Buah dada keduanya sudah
menegang sehingga terasa padat dan empuk di telapak tanganku.
Ketika tanganku mulai mengelus buah dada keduanya yang montok itu, desah nafas
nikmat terdengar dari mulut keduanya. Geletar birahi sudah melanda urat nadi
seluruh tubuh mereka. Serentak tanga-tangan mungil Dewi dan Fenny menerobos
celana dalamku dan berebutan menggenggam batang kemaluanku yang sudah menegang
sekeras tank baja. Aku tidak peduli tangan siapa yang mengelus batang kemaluanku
dan yang lain mengusap-usap buah pelirku. Yang kurasakan hanya geletar-geletar
nikmat yang menjalari seluruh bagian tubuhku dan meledak-ledak di denyutan
kemaluanku.
Melepaskan kuluman di kedua puting susuku, Fenny menyusuri perutku dan mendekati
selangkanganku. Dewi merayapi leherku dan mengendus-ngendus di pangkal kupingku.
Tangan kiriku menyelusuri belahan buah dada Fenny dan sejalan dengan itu bibirku
merambah tonjolan buah dada Dewi yang ternyata lebih besar dan lebih montok dari
buah dada Fenny. Kuremas buah dada Fenny dan kuisap buah dada Dewi. Kedua wanita
Cina itu bersamaan mengerang dengan suara keras.
Sambil tetap mengisap-isapi buah dada Dewi, tanganku mulai bergerilya ke balik
celana dalam keduanya. Bongkahan-bongkahan pantat keduanya yang montok dan padat
itu kini menjadi sasaran remasan tanganku. Telapak tanganku terasa empuk
menelusuri halus kulit dan montoknya bongkah-bongkah itu. Keduanya menggelinjang
ketika jari-jariku nakal menyelusuri belahan pantat yang menggairahkan itu.
Keduanya bereaksi menjawab gerak tanganku itu.
Celana dalamku diperosotkan Fenny sehingga aku telanjang. Sejalan dengan
mencuatnya kemaluanku tegak ke atas laksana menara, mulut mungil Fenny langsung
menyergapnya. Kemaluanku yang sudah tegang itu berdenyut-denyut dalam mulutnya.
Sedotannya sungguh membawa nikmat tidak terkira. Aku menggeram, tetapi geramanku
itu tertahan di buah dada Dewi yang menekan kepalaku kuat-kuat ke dadanya. Kedua
tanganku dengan cepat menerobosi celana dalam keduanya dan bersarang di kemaluan
masing-masing. Tangan kiriku menggerayangi kemaluan Fenny dan tangan kananku
sibuk mencari-cari kemaluan Dewi. Ternyata keduanya telah basah oleh lendir.
Dewi mengaduh keras ketika jemariku menerobosi liang nikmatnya itu. Jeritan
Fenny tertahan oleh kemaluanku yang telah memenuhi mulutnya. Sambil tangan
kirinya terus menekan kepalaku ke arah dadanya, tangan kanannya memerosotkan
celana dalamnya sendiri. Fenny menggelinjang-gelinjang ketika tangan kiriku
mencopot celana dalamnya. Kini aku bersama kedua wanita cantik itu sudah dalam
keadaan bugil penuh tanpa ditutupi sehelai benang pun. Adakah sesuatu yang dapat
menghalangi aku untuk menikmati tubuh-tubuh bahenol ini sekarang?
“Kita ke kamar sekarang”, kataku kepada Fenny dan Dewi.
Fenny melepaskan kulumannya atas kemaluanku. Bertiga kami bangkit dan melangkah
ke lantai atas. Kedua wanita itu bergayut di bahuku, Fenny di sebelah kiri dan
Dewi di sebelah kanan. Tangan kanan Dewi menggenggam dan mengusap-usap
kemaluanku sehingga tetap tegang dan keras. Buah dada keduanya menempeli lengan
kiri dan kananku sementara kedua tanganku merayapi bongkah-bongkah pantat
keduanya yang montok dan padat. Kedua wanita cantik itu mengikik genit dan
seksi. Aku tahu persis, nafsu birahi keduanya telah menggelora, tidak sabar
menantikan pemuasan.
Kamar tidur Mei terasa sangat romantis dan berbau wangi. Ruangan berpenyejuk itu
terasa sangat lapang. Lampu yang redup membuat suasana semakin indah. Aku
merebahkan tubuhku di atas ranjang. Kemaluanku tegak menjulang dengan gagahnya,
menantikan saat-saat mendebarkan, menyatu dengan kedua wanita itu bergantian.
Dewi dan Fenny berdiri sejajar mempertontonkan tubuhnya yang molek padat
kepadaku. Dewi lebih tinggi dengan buah dada yang lebih besar dan padat.
Fenny lebih pendek, buah dadanya juga kalah besar dari Dewi, tetapi pantatnya
itu! Aduhai! Lebih besar dari pantat Dewi, bahkan lebih besar dari pantat Mei
dan Yen. Getaran pantatnya yang besar itu jelas-jelas sangat mengungkit birahiku
yang terpendam. Sambil tertawa-tawa keduanya berputar-putar, mempertontonkan
kemontokan dan kemolekan tubuh bugil mereka. Kupandang buah dada keduanya yang
montok, bongkahan-bongkahan pantat yang bulat, padat dan besar. Rambut kemaluan
yang hitam legam itu memberi pemandangan yang sangat indah dan kontras di atas
kulit yang putih dan mulus itu.
“Udah puas lihatnya?” tanya Dewi.
“Udah”, jawaku sekenanya.
Segera kedua wanita itu menerkamku di atas ranjang Mei yang lebar dan empuk itu.
Spring bed itu bergetar-getar menahan gempuran keduanya. Jari-jari mungil mereka
merambah dan mengelus seluruh bagian tubuhku, sementara bibir-bibir mungil dan
basah itu menjelajah seluruh bagian sensitif tubuhku. Tubuh-tubuh bugil bahenol
itu menghimpitku dengan ketatnya. Kubiarkan keduanya menjelajahi tubuhku.
Sentuhan-sentuhan manis itu sungguh-sungguh membawa rasa nikmat yang tak
terkira.
Dewi mendekatkan buah dadanya ke wajahku. Mulutku dengan segera menangkap dan
mengulum puting buah dadanya yang menegang itu. Ia mengerang keras ketika
lidahku mempermainkan putingnya. Sementara itu bibir dan lidah Fenny leluasa
menjelajahi sela-sela pahaku. Batang kemaluanku yang sudah sekeras laras senapan
itu terasa terpilin-pilih dalam mulutnya. Lidahnya begitu lihai mempermainkan
kemaluanku itu. Pantatnya yang bulat lebar itu menjadi sasaran remasan tangan
kiriku. Ketika nafsu birahiku semakin menggila dan tak tertahankan lagi, kupikir
saatnya untuk menyetubuhi kedua wanita itu. Aku melepaskan diri dan meminta
keduanya berbaring berjajar.
“Dewi duluan”, kata Fanny.

Kulihat Dewi sudah menelentang dengan mata tertutup. Bibirnya sedikit terbuka
dan mendesis-desis. Pahanya telah dibuka lebar-lebar. Kemaluannya merekah merah
dan basah oleh cairan vaginanya, dihiasi oleh bulu-bulu hitam lebat di
seputarnya. Tangan kirinya berpegangan erat dengan tangan Fenny seakan-akan
menimba kekuatan dan dukungan. Dadanya kelihatan bergemuruh oleh denyut
jantungnya. Ia terlihat menahan napas. Aku tahu, ia tak sabar menantikan sensasi
indah bersatu dengan diriku. Kuarahkan kemaluanku yang sudah menegang dan
berkilat-kilat.
Ujung kemaluanku menguak perlahan-lahan bibir kemaluannya. Ia mendesah nikmat.
Lalu perlahan-lahan aku menyuruk masuk. Mulutnya semakin lebar terbuka. Batang
kemaluanku yang berkasa itu menerobos dinding-dinding vaginanya yang telah basah
berlendir. Ketika separuh batang kemaluanku telah menerobos liang nikmatnya
Dewi, aku berhenti sejenak dan membiarkan dia menikmatinya. Kulihat ekspresi
wajah Dewi yang menggelinjang kenikmatan. Rambut hitamnya yang terserak di
bantal mempertegas ekspresi wajahnya yang putih mulus. Tangannya meremas-remas
kain seprei. Dari mulutnya keluar desah-desah nikmat yang menggelora. Aku
tersenyum bangga, bisa menikmati tubuh wanita secantik dan semontok Dewi.
Ketika aku dengan hati puas menikmati ekspresi penuh kenikmatan wajah Dewi, di
saat itulah ciuman bibir Fenny mendarat di belakangku, tepat di atas pantatku.
Aku terkejut karena geli. Reaksiku tak terduga. Aku menyodokkan kemaluanku
dengan keras ke arah Dewi. Batang kemaluanku yang besar dan panjang itu dengan
ganasnya menerobosi lubang surgawi Dewi dan tertanam sepenuhnya di lubang yang
sudah basah berlendir itu. Dewi tersentak dan membelalakkan matanya sambil
mengerang hebat. Jeritannya keras dan panjang membelah udara malam yang hening
itu.
“Aaoohh..”, erang Dewi penuh kenikmatan.
Pantatnya dihentak-hentakkan ke atas untuk menerima kemaluanku sepenuhnya.
Pahanya yang padat itu membelit pinggangku, sehingga aku sepenuhnya bersatu
dengan dirinya. Ia melolong-lolong seperti orang hilang ingatan. Sementara itu
jilatan lidah Fenny di seputar bokongku membuat rasa nikmat itu semakin
menjadi-jadi. Setelah berhenti sejenak dan memberi kesempatan kepada Dewi untuk
menikmati sensasi nikmat ini, aku mulai bergerak. Kemaluanku kugerakkan maju
mundur secara berirama. Mula-mula perlahan-lahan, lalu bergerak makin cepat.
Tubuh montok Dewi bergetar-getar seirama dengan genjotan kemaluanku. Mulutnya
terbuka dan mendesis-desis.
Melihat indahnya bibir-bibir mungil merah merekah itu, aku segera mendaratkan
bibirku di sana. Kulumat habir bibir-bibir seksi itu. Dewi membalas tak kalah
hebatnya. Lidahku terpilin-pilin oleh sedotan mulutnya. Tubuhku mulai berpeluh,
menetes dan menyatu dengan keringat Dewi. Pahanya kini dibuka lebar-lebar
sehingga aku dapat leluasa menggenjot kemaluannya itu. Kecipak bunyi cairan
vaginanya karena sodokan kemaluanku secara berirama menambah panas pertarungan
penuh birahi ini.
“Aku mau keluar..” erang Dewi.
“Ayo, Mas.. Lebih keras! Auu!!”
Mengingat masih ada Fenny yang harus dipuaskan, aku mempercepat gerakanku agar
Dewi secepatnya orgasme. Benar! Dalam hitungan dua menit, Dewi menjerit
sekeras-kerasnya sambil menghentak-hentakkan pantatnya ke atas. Tubuhnya
menggeletar dengan hebas karena didera rasa nikmat yang luar biasa. Jeritannya
itu tersekat oleh mulutku. Pahanya ketat membelit pinggangku. Tangannya
memelukku seerat-eratnya. Desah puas terdengar dari mulutnya.
“Fenny masih menunggu”, kataku mengingatkan.
Ia mengangguk dan melepaskanku. Aku mencabut kemaluanku yang masih tegak keras
dan berkilat-kilat karena dilumuri lendir vagina Dewi. Dari kemaluannya kulihat
aliran lendir orgasmenya. Dewi tetap berbaring dengan paha terbuka dan mata
tertutup. Buah dadanya membusung ke atas, agak memerah karena remasan dan
gigitanku. Kemaluannya tetap merekah terbuka dan bergetar-getar, masih harus
terbiasa dengan genjotan kemaluanku yang keras dan besar ini.
Aku menoleh dan kulihat Fenny menatapku dengan pandangan yang menyiratkan
harapan agar nafsunya pun segera dipuaskan. Aku menghampirinya. Ia bergerak dan
menyiapkan dirinya untuk disetubuhi. Tak kusangka, ia langsung menungging.
Rupanya ia suka doggy style penetration.
“Aku tahu, Mas Ardy suka pantatku”, katanya sambil tertawa kecil.
“Ayo, Mas! Fenny udah nggak sabar, nih. Pengen cepat dirudal oleh penismu yang
gede itu.”
“Siapa takut!” sahutku.
Karena Fenny sudah sangat terangsang, aku tidak menunggu lama-lama. Langsung
saja kuarahkan kemaluanku ke arah kemaluannya yang merekah, diapiti oleh kedua
bongkahan pantatnya yang montok, padat dan lebar itu. Sungguh pemandangan yang
indah dan sangat mengungkit birahi yang terpendam. Pantat yang lebar dan mulus
itu pasti menjanjikan kenikmatan yang tak ada duanya. Bulu-bulu kemaluannya yang
hitam lebat itu menutupi sedikit liang nikmat Fenny. Kusibak rambut-rambut itu
dan tampaklah bibir-bibir vagina yang berwarna merah muda, segar dan basah
berlendir. Apa lagi yang dapat menghalangiku menyetubuhi si pantat besar ini?
Fenny menurunkan kepalanya hingga bertumpu ke bantal. Pantatnya diangkat.
Tangannya meremas ujung-ujung bantal itu seakan-akan mencari kekuatan. Nafasnya
berdesah tak teratur. Bulu-bulu halus tubuhnya meremang, menantikan saat-saat
sensasional ketika kemaluanku ini akan menerobosi lubang surgawinya. Aku
merapat. Kuelus-elus kedua belahan pantatnya yang mulus padat itu.
Perlahan-lahan jari-jariku mendekati bibir-bibir vaginanya yang telah basah itu.
Jariku mempermainkan rambut lebat di seputar lubang itu. Fenny mengerang-erang
menahan birahinya yang semakin menggila. Pantatnya bergetar-getar menahan
rangsangan tanganku.
“Ayo, Mas”, erang Fenny.
“Udah nggak tahan nih!”
Kuarahkan kemaluanku yang masih sangat keras itu ke arah lubang kenikmatan
Fenny. Kuletakkan kepala kemaluanku di atas bibir-bibirnya. Fenny mendesah.
Kemudian perlahan tapi pasti aku mendorongnya ke depan. Kemaluanku menerobosi
lubang nikmatnya itu. Fenny menjerit kecil sambil mendongakkan kepalanya ke
atas. Sejenak aku berhenti dan membiarkan Fenny menikmatinya. Ketika ia tengah
mengerang-erang dan menggelinjang-gelinjang, mendadak aku menyodokkan kemaluanku
ke depan dengan cepat dan keras. Dengan lancar batang kemaluanku meluncur ke
dalam liang vaginanya. Fenny tersentak dan menjerit keras.
“Ampunn, Mas!” jerit Fenny.
“Auu..!!”
Di saat itu terdengar telepon berdering. Siapa sih yang nelpon malam-malam
begini? Dewi beranjak menerima telepon ini. Sambil terus menggenjoti kemaluan
Fenny, aku menangkap pembicaraan itu.
“Eh, Yen”, kata Dewi.
“Tuh lagi asyik di sana. Fenny sampai menjerit-jerit tuh. Bisa dengar kan? Ya..
Aku sampai orgasme berulang-ulang lho. Mas Ardy memang jagoan deh. Ok.. Aku ke
sana.”
Dewi membawa cordless telepon itu ke samping ranjang. Ia mendekatkannya ke
kepala Fenny yang menjerit kenikmatan. Rupanya Mei dan Yen ingin mendengarnya
juga. Aku terpacu untuk menunjukkan kejantananku. Maka aku mempercepat genjotan
kemaluanku di vagina Fenny. Kujambak rambutnya sehingga wajahnya mendongak ke
atas. Semakin keras dan cepat genjotanku, semakin keras erangan dan jeritan
Fenny. Bunyi hentakan pantatnya semakin memukau. Akhirnya kurasakan lahar sperma
di kemaluanku akan memuncrat. Maka aku mempercepat kocokanku, biar Fenny duluan
orgasme. Benar!
“Aa..h.!” jerit Fenny.
“Aah.. Aku keluar! Aku keluar!”
Diiringi jeritan kerasnya, tubuh Fenny menggeletar hebat didera rasa nikmat
orgasme yang tak terkatakan. Punggungnya melengkung ke atas dan mengejang.
Hentakkan pantatku membenamkan kemaluanku dalam-dalam ke vagina Fenny. Dinding
liang kemaluannya itu terasa menjepit batang kemaluanku, mengiringi muntahan
spermaku memenuhi lubang kenikmatannya. Tanganku mencekal pahanya yang padat itu
dan menarik erat-erat ke arah kemaluanku, sehingga kemaluanku yang kubanggakan
itu terbenam sedalam-dalamnya di kemaluan Fenny.
Punggung Fenny yang padat berisi itu bersimbah peluh. Rambutnya melekat. Ia
mencengkam seprei kuat-kuat seakan-akan hendak menimba kekuatan dari sana,
menahan deraan rasa nikmat yang melanda sekujur tubuhnya. Rasa nikmat yang sama
menjalari tubuhku, diimbangi oleh rasa bangga karena dapat beradu birahi dengan
dua wanita Cina yang yang cantik dan bahenol. Kebanggaanku menjadi lebih lengkap
karena keduanya sudah meraih orgasme berkat kejantananku.
“Udah dulu ya, Mbak”, suara Dewi membuyarkan lamunanku.
“Fenny udah keluar, tuh! Aku mendingan mandi, deh! Sebentar lagi pasti
giliranku.” Rupanya ia mengobrol dengan Mei dan Yen lewat telepon.
Rasa bangga menjalari kepalaku mendengar ucapan Dewi itu. Sambil tetap
membiarkan kemaluanku menancap di tubuh Fenny, aku menoleh ke arah Dewi. Aku
tersenyum, ia membalasnya. Ia mendekatiku dan mendaratkan bibirnya di bibirku.
Kami berpagutan erat sementara tubuh Fenny yang masih menyatu dengan tubuhku
terus menggeletar menggapai sisa-sisa kenikmatan. Oh, malam yang teramat indah
dan akan kukenang seumur hidupku.
“Oh! Nikmatnya!” kata Fenny.
“Aku belum pernah sepuas ini!”
“Aku juga”, sahut Dewi.
“Luar biasa Mas Ardy ini!”
Aku mencabut kemaluanku dari kemaluan Fenny. Kuperhatikan liang vaginanya yang
dipenuhi spermaku bercampur cairan kemaluannya, menetes jatuh membasahi pahanya.
Kami bertiga rebah di atas ranjang. Kedua wanita itu menempel lekat, Dewi di
sisi kiriku dan Fenny di sisi kananku. Ciuman hangat mendarat di kedua pipiku.
Sekitar lima belas menit kami hanya berbaring diam melemaskan badan, mereguk
sisa-sisa kenikmatan dan menghimpun tenaga.
“Mandi, yuk!” ajak Dewi.
Bertiga kami beralih ke kamar mandi. Seperti dengan Mei dan Yen dulu, kamar
mandi itu berubah menjadi arena pemuasan nafsu birahi. Dewi dan Fenny
memandikanku. Keduanya menyabuniku bukan dengan tangan. Dewi sibuk menyabuni
seluruh bagian belakang tubuhku dengan buah dadanya, sementara Fenny menyapu
bersih seluruh bagian depan tubuhku dengan pantatnya yang lebar.

Ruang kamar mandi itu dengan segera dipenuh oleh gelak tawa dan gurauan-gurauan
yang membangkitkan birahi. Gesekan-gesekan, rabaan-rabaan dan remasan-remasan
tak ayal lagi merangsang nafsu terpendam. Ketika ledakan-ledakan nafsu itu tidak
tertahankan lagi, jalan satu-satunya ialah menyetubuhi kedua wanita itu
bergiliran. Maka dinding-dinding kamar mandi itu pun menjadi saksi bisu aku
beradu nafsu syahwat dengan Fenny dan Dewi.
Fenny minta disetubuhi duluan. Aku duduk di tepi bathtub dengan kemaluanku
mengacung tegak ke atas. Dewi merangkulku dari belakang sehingga buah dadanya
yang padat itu menempel erat di punggungku. Fenny mengangkangkan pahanya dan
mendekatiku dari depan, siap-siap untuk disetubuhi.
“Mas Ardy pasti bangga ya, dilayani oleh dua cewek bahenol”, kata Fenny
tersenyum.
“Jelas dong”, sahutku.
“Bayangkan! Dua cewek Cina, putih mulus, cantik dan bahenol, dapat kusetubuhi
bergantian dalam semalam.”
“Apa yang paling Mas Ardy suka”, sahut Dewi.
“Aku dan Fenny kan sama saja dengan wanita-wanita yang lain.”
“Oh, jelas beda” jawabku.
“Aku suka wanita yang bahenol dengan buah dada dan pantat yang besar. Jelas,
kalian berdua masuk dalam kriteriaku. Yang kedua, aku terobsesi untuk bersetubuh
dengan wanita-wanita Tionghoa. Putih, mulus dan halus. Awalnya sih pingin tau
aja, senikmat apa sih bersetubuh dengan wanita-wanita Cina. Eh, ternyata luar
biasa nikmatnya. Jadinya ketagihan”
“Ah, Mas Ardy aja ada”, kata Fenny mencubit lenganku.
“Kita akan saling memuaskan”, kata Dewi.
“Mas Ardy membutuhkan tubuh kami sedang kami membutuhkan kejantananmu.”
“Hahaa..” bertiga kami tertawa bareng.
Fenny yang sudah duduk di pahaku merapatkan tubuhnya. Kemaluanku yang sudah
tegak tanpa halangan langsung menembus kemaluannya, bersarang sedalam-dalamnya.
Ia segera menggoyang pantatnya dengan liar sambil melenguh-lenguh nikmat. Kedua
buah dadanya diarahkan ke mulutku. Dengan buas kuterkam keduah buah dada yang
bergoyang-goyang itu. Fenny mengerang keras. Nafsunya semakin melonjak mendekati
orgasme.
Ia semakin liar. Kepalaku ditekan keras-keras ke dadanya sehingga terbenam di
buah dadanya yang empuk. Sementara itu, Dewi juga terus menekan-nekan dadanya ke
arah punggungku. Jadinya dua pasang buah dada sungguh memanjakanku. Huu.. Seru!
Fenny yang sudah terangsang hebat cepat sekali mencapai orgasmenya. Badannya
mengejang-ngejang diiringi erangan kenikmatan.
“Auu.. Mas!” jerit Fenny seraya mengerkah bahuku.
Jeritan kenikmatannya tersekat di sana. Untuk beberapa saat kami terdiam. Ia
memelukku erat-erat menggapai kekuatan menahan deraan kenikmatan yang menerpa
tubuhnya. Perlahan ia melepaskan tubuhku dan dengan lemas mencebur ke dalam
bathtub yang sudah terisi air hangat.
“Sekarang giliranku, Mas”, kata Dewi.
Ia langsung berdiri dan bersandar ke wastafel dan menaikkan pantatnya, siap
menerima batang kejantananku dalam doggy style penetration. Sejenak aku
menikmati bayangan indah di cermin. Rambut Dewi yang panjang dan awut-awutan itu
menggantung. Matanya tertutup sambil agak menengadah. Bibirnya yang merah mungil
itu agak terbuka, menghiasi wajahnya yang cantik.
Wajah itu jelas memancarkan gelora birahi yang menggila dan butuh pemuasan. Buah
dadanya yang ranum besar itu menggelantung dengan indahnya, bergerak naik turun
seirama nafasnya yang memburu. Tangannya bertumpu pada tepi wastafel. Pahanya
sudah membuka lebar, memperlihatkan celah kemaluannya yang seperti berteriak tak
sabar. Rambut kemaluannya yang basah itu melekat di pinggir mulut gua gelap itu.
Aku mendekatinya. Tanganku menyapu lembut kulit pantatnya yang mulus tapi padat.
Dari bayangan cermin kulihat Dewi menggigit bibirnya dan menahan napas, tak
sabar menanti penetrasi batang kejantananku. Tanganku melingkari kedua pahanya
lalu kuarahkan kemaluanku ke lubang kenikmatannya. Perlahan-lahan ujung
kemaluanku yang melebar dan berwarna merah mengkilap itu menerobosi kemaluannya.
Dewi mendongak dan dari mulutnya terdengar desisan liar. Sejenak aku berhenti
dan membiarkan ia menikmatinya lalu mendadak aku menghentakkan pantatku keras ke
depan. Sehingga terbenamlah seluruh batang kejantananku di liang kewanitaannya.
“Aacchh..!!”, Dewi mengerang keras.
Aku menjambak rambutnya sehingga wajah yang cantik itu mendongak ke atas. Sambil
terus menggenjot kemaluannya, aku menikmati perubahan mimik wajahnya menahan
rasa nikmat yang bergelora dan menjalari seluruh tubuhnya. Wajahnya yang memerah
itu dialiri butiran-butiran keringat. Kedua buah dadanya berguncang-guncang
seirama dengan gerakan keluar masuk kemaluanku di liang nikmatnya.
Bunyi kecipak cairan vaginanya terdengar merdu berirama, diiringi desahan dan
lenguhan yang terus menerus keluar dari mulutnya yang mungil. Melihat itu aku
semakin bernafsu. Aku mempercepat gerakan pantatku. Kemaluanku terasa semakin
membesar dan memanjang. Erangan dan lenguhan Dewi berubah menjadi jeritan
histeris penuh birahi yang meledak-ledak.
“Oohh..! Lebih keras!” jerit Dewi.
“Ayo, cepat. Cepat. Lebih keras lagii!”
Keringatku deras menetesi pungguh dan dadaku. Wajahku pun telah basah oleh
keringat. Rambut Dewi semakin keras kusentak. Kepalanya semakin mendongak. Dan
dengan satu sentakan keras, aku membenamkan kemaluanku sedalam-dalamnya. Dewi
menjerit karena orgasme yang menggelora. Kusentakkan tubuh Dewi ke atas. Kedua
tanganku menggapai kedua buah dadanya dan meremas-remas dengan penuh nafsu. Ia
pun menghentakkan pantatnya ke belakang agar lebih penuh menerima batang
kemaluanku. Pantatnya bergetar hebat. Aku menggeram seperti singa lapar.
Di saat itulah kurasakan spermaku menyemprot dengan derasnya ke dalam rahim
Dewi. Rasanya tak ada habis-habisnya. Dinding-dinding vagina Dewi menjepit
kemaluanku. Rasanya seperti terpilin-pilin. Tangan Dewi melemah dan ia pun
merebahkan dirinya di atas keramik lebar samping wastafel. Aku pun rubuh
menindih tubuhnya. Beberapa lama kami diam di tempat dengan kelamin yang tetap
bersatu sepenuhnya, menggeletar dan mengejang, mereguk segala kenikmatan yang
hanya dapat ditemukan dalam persetubuhan.
“Udah waktunya mandi, Mas, Mbak Dewi”, kata-kata Fenny menyadarkan kami berdua.
Aku membimbing Dewi yang masih lemas didera rasa nikmat orgasmenya. Bertiga kami
berendam di dalam bathtub mewah dalam kamar mandi Mei yang lapang ini. Dengan
penuh kelembutan keduanya memandikanku, membersihkan seluruh peluh yang melekat
di badanku, mencuci bersih kemaluanku.
Benar kata Yen. Dewi dan Fenny tidak mengecewakan. Malah harus kuakui, permainan
seks kedua wanita ini jauh lebih menggairahkan. Menikmati tubuh keduanya saja
sudah begini menyenangkan. Bagaimana kalau mereka berempat, Mei dan Yen serta
Dewi dan Fenny bersama-sama melayani dalam semalam? Sesudah malam ini, hari-hari
selanjutnya pasti akan sangat menyenangkan.
Bagai mendapat durian runtuh, demikian kata pepatah lama. Bagaimana tidak. Empat
wanita Cina yang cantik bermata sipit dengan tubuh yang montok dan bahenol siap
aku setubuhi kapan saja. Ooh, betapa beruntungnya aku.
“Mikiran apa, ayo”, kata Fenny membuyarkan lamunanku. Ia tersenyum.
“Aku berpikir, gimana rasanya kalau dalam semalam aku menyetubuhi kalian berdua
serta Mei dan Yen bergantian ya?” kataku.
“Ih maunya”, sahut Fenny.
“Itu bisa saja, Mas”, sahut Dewi sambil menyiramkan air hangat ke bahuku.
“Mei dan Yen udah berencana kok. Pasti kita akan main berlima. Aku yakin, Mas
Ardy tidak keberatan. Ya kan?”
“Siapa yang nolak”, sahutku.
“Apalagi dilayani oleh empat wanita Cina yang cantik-cantik dan montok-montok
ini.”
“Itulah manfaatnya mempunyai sahabat”, sahut Fenny.
“Bisa berbagi suka dan duka.”
“Benar kata Fenny”, timpal Dewi.
“Kami semua mapan secara ekonomis. Begitu juga karier. Selama ini kami tidak
pernah merasa perlu berbagi kegembiraan. Sekarang semua itu terjadi, berkat
bantuan Mas Ardy. Karena di sini kami berempat telah berbagi kenikmatan!”
“Jadi inikah makna persabahatan itu?” tanyaku dalam hati.
Apapun jawabannya aku tidak peduli. Malam itu sungguh menjadi malam yang tak
terlupakan. Kami bersetubuh sampai pagi, sama-sama tidak menyia-nyiakan
kesempatan membagi rasa nikmat hubungan kelamin satu sama lain.
Pagi hari, Mei dan Yen kembali. Setelah menyelesaikan ronde terakhir
persetubuhan pagi itu, kami bertiga bergabung dengan Mei dan Yen menikmati
sarapan pagi. Wajah Dewi dan Fenny terlihat sayu karena kurang tidur tetapi
jelas berbinar-binar karena kepuasan yang telah mereka peroleh.
“Kho Ardy”, kata Yen.
“Benarkan kataku kalau aku ini sahabat sejati. Sesuatu yang indah dan nikmat itu
kalau dibagi-bagi akan menjadi lebih indah dan nikmat.”
“Betul kata Yen”, tambah Mei.
“Tapi malam ini milik aku dan Yen, kan?
“Tentu”, sahutku pendek sambil menyeruput kopiku.
“Pokoknya mulai sekarang, kapan saya Mas Ardy pengen, kami pasti bersedia”,
tambah Fenny.
“Kecuali kalau lagi menstruasi tentunya. He.. He.. He..”
“Gimana Dewi?” tanyaku.
“Aku setuju”, sahut Dewi.
“Sahabat sejati selalu memberikan yang terbaik kepada para sahabatnya. Kami
berempat adalah teman-teman lama. Kini menjadi berlima bersama Mas Ardy. Orang
lain saling membagi harta dan ceritera. Kita saling membagi rasa nikmat hubungan
kelamin. Kami berempat ini milikmu. Gimana?”
“Setujuu..!!” sahut Mei, Yen dan Fenny.
Aku hanya tersenyum bangga. Mataku menatap langit-langit diiringi derai tawa
keempat wanita cantik nan bahenol itu. Ada makna baru persahabatan bagiku
sekarang!

No comments: