Tuesday, May 1, 2007

ILALANG 4

"Kriiiingggg, kriiiinngggg..," suara telepon itu bertalu memekakkan
telinga. Setelan volumenya maksimal, hingga deringnya mencapai
setiap sudut rumah yang berhalaman cukup besar itu. Deringnya masih
terdengar beberapa kali dan baru berhenti ketika sebuah tangan
mengangkatnya.
"Hallo,"
"Hallo.., Ma, ini aku. Kamu sedang apa, kok angkatnya lama?"
"Hmm, gak ngapa-ngapain kok. Aku ketiduran saja tadi ketika
menidurkan Randu."
"Oh ya sudah. Hampir saja aku tutup tadi, aku pikir tidak ada yang
di rumah," jawab suara laki-laki dari ujung sebelah sana.
Diam.
"Ma,"
"Ya?"
"Aku dapat pekerjaan di sini."
"Eh, ..syukurlah,.... aku ikut senang."
Kaku.
"Ma, ..aku..," suara itu ragu, "aku ingin kau segera menyusulku ke
sini. Ada pekerjaan juga menunggumu di sini. Kita hidup di sini
saja, Ma. Jauh dari segala macam keruwetan."
Sebuah ajakan. Tak terjawab. Belum. Setidaknya sampai beberapa hari
kemudian.
*****
"Jadi kau memutuskan untuk ke Jakarta?"
Lang mengangguk, mengiyakan pertanyaan Abi. Mereka membahasnya di
Ruang Rekaman Dua, sembari menggarap sebuah partitur yang akan
dipentaskan laki-laki itu bulan depan. Abi memang akan
menyelenggarakan sebuah pementasan spektakuler yang akan memakan
waktu nonstop selama tiga hari berturut-turut. Di mana hanya seorang
Abi yang berada di atas panggung. Ia akan menggeber semua karya yang
dibuatnya dua tahun terakhir ini. Karya yang menurutnya terbaik
sepanjang karirnya.
"Kuliahmu?"
"Hhh, itu yang aku belum tahu. Mungkin aku akan ambil cuti dulu, dua
semester. Bagaimana menurutmu?"
"Aku tidak bisa memberikan pertimbangan apa-apa Lang. Yang tahu
persis situasinya adalah kamu. Apakah Denni serius mengajakmu ke
sana? Dia... akan kembali kepadamu?"
Kembali Lang mengangguk. Bohong!! Hatinya tak seyakin anggukannya.
Tapi rasanya ia tahu hal itu yang harus dilakukannya. Ia harus
kembali ke jalurnya semula. Harus.
"Aku hanya punya waktu membantumu menyelesaikan proyek ini sampai
lusa depan, besoknya aku harus berangkat."
Kilatan kaget terlihat di mata Abi yang sedang menatap Lang
"Secepat itu?"
Lang hanya bisa mengangguk. Ia tak ingin menjawab apapun. Ia ingin
mengatakan tidak, agar tetap bisa berdekatan dengan laki-laki ini,
tapi ia tahu, ini bukan tempatnya. Tempatnya nun jauh berjarak 500
km lebih di barat sana. Tempat yang jauh dari kepastian, dan penuh
tanda tanya. Tapi, ia harus berangkat. Ia harus menyusul suaminya.
Semalam ia menemukan jawaban itu, ketika tiba-tiba Randu, dalam
tidurnya mengigau memanggil ayahnya. Igauan yang diiringi senyum
bocah yang masih polos. Yah, Randu membutuhkan Denni. Randu bahagia
berdekatan dengan ayahnya. Ia, ibunya, tak berhak menjauhkan anak
itu dari garis keturunannya.
Lantas aku?
Apakah aku akan bisa kembali menjalankan hidupku di samping Denni,
setelah kejadian itu? Pikiran itu membersit di benak Lang, tapi
kemudian dia mengendapkannya dalam sebuah pemahaman, mungkin, inilah
jalan yang dipilihkan Tuhan untuknya: Kembali ke sisi Denni, demi
anaknya.
"Lang..,"
Panggilan Abi menyadarkan Lang dari lamunan. Ditatapnya wajah
laki-laki di depannya. Wajah yang dua bulan ini berkilas dalam
pelupuk matanya ketika terpejam, berkelebatan dalam kesehariannya,
memberikan sejenak rasa hangat di hatinya. Kini wajah itu terlihat
sedikit pucat. Lang lemah menundukkan kepalanya lagi, tak tahan
melihat gurat kekecewaan di wajah itu. Maafkan aku kekasihku, jerit
hatinya.
Demam tubuh Lang, membayangkan ia akan berjauhan dari Abi. Baginya
laki-laki itu adalah nyala pelita baru dalam hidupnya yang selama
ini tak berpengharapan. Dan kini, ia harus meninggalkannya. Ia tak
boleh egois memikirkan kesenangannya sendiri. Masih ada anaknya yang
belum bisa mengungkapkan keinginannya. Dan ia harus bersabar untuk
itu.
Lamunan Lang melayang tak berketentuan, sampai suatu ketika
dirasakannya sebuah sentuhan di tangannya. Abi telah memegang kedua
tangannya, menggenggamnya erat sambil menatap matanya yang kini juga
menatap laki-laki itu.
"Kau akan datang ke pementasanku bulan depan?"
Mata mereka saling menatap. Sebuah anggukan akhirnya menjadi
pilihan.
*****
Jakarta,
Akhirnya datang juga aku kepadamu
Mereguk kehidupanmu
Mengais setiap mimpi
Mengisi hari-hari
Di tempat kerjanya yang baru, prestasi Lang cepat melonjak setahun
terakhir. Ia seolah menemukan tempat untuk mengaktualisasikan
dirinya di Stasiun TV Swasta itu. Sejak masuk pertama kali, dia tahu
kepenyiaran televisi, profesi yang ditawarkan padanya sejak awal
mula, tak begitu disukainya. Berbeda dengan penyiar radio, di mana
hanya suaranya saja yang didengar khalayak, maka profesi penyiar
televisi menuntut ia tampil prima setiap saat. Musti dandan, dan
rapi berpakaian sebagai seorang public figure. Muka yang harus
selalu senyum, dan potensi menjadi sorotan khalayak. Tidak. Ia tidak
suka.
Yang lebih tidak membuatnya nyaman adalah kehadiran Denni setiap
saat di sekitarnya. Suaminya itu juga bekerja di stasiun tv yang
sama, di divisi yang selalu berkait dengan dirinya. Bukan masalah
sebenarnya jika rekan kerja mereka bisa memisahkan hubungan
kekeluargaan itu secara profesional. Tapi yang sering terjadi adalah
sebaliknya. Ketika Denni melakukan kesalahan, selalu Lang menjadi
sasaran komplain mereka. Dan kacaunya, dari waktu ke waktu, Denni
semakin menunjukkan ketidakmampuannya.
"Sebaiknya kita pulang saja ke Jogya," kata Denni.
"Apa maksudmu? Bukankah kau yang mengajakku menjauhi keruwetan di
sana, kenapa sekarang kau berubah pikiran?" tanya Lang tak habis
mengerti, "Hanya gara-gara kau tak mampu, kau akan lari dari
tanggungjawabmu?"
"Denni, carilah pekerjaan lain, tapi tak perlu kita kembali ke sana.
Kau lihat, aku sudah menurut, menyusulmu ke Jakarta. Carilah
pekerjaan lain di sini."
Diam.
"Kau akan bekerja di mana jika kembali ke sana?"
Tak ada jawaban. Penyakit lama yang tak kunjung sembuh juga. Membara
hati perempuan ini. Benar-benar tidak bertanggungjawab. Sangat salah
kalau Denni mengira bisa mengajaknya ke sana-sini tanpa perhitungan
yang jelas.
"Tidak! Aku tidak akan kembali ke Jogya. Kau boleh lari kemanapun
kau mau, tapi aku tidak ingin meninggalkan kota ini, penghidupanku
di sini. Karena aku yakin, di Jogya pun kau tak akan melakukan
apa-apa."
Tak ada tanggapan.
Final. Akhirnya Denni balik lagi ke kota asalnya. Dia berkeras
membawa Randu. Kehidupan di kota kecil itu lebih kondusif untuk
membesarkan anak dibandingkan di Jakarta, katanya. Padahal, Lang
tahu persis, Denni sengaja menjadikan anak itu sebagai senjata
pamungkasnya agar ia mau mengikuti suaminya itu. Selalu kembali
kepadanya karena anaknya ada di tangannya. Tapi tidak, dalam
bendungan amarahnya, Lang membiarkan itu terjadi. Biarlah, ia harus
kuat berpisah dengan anaknya. Di sisi lain Lang juga ingin melihat
seberapa besar tanggungjawab Denni membesarkan Randu. Apa benar ia
akan membesarkan Randu dengan baik.
Teori.
Pada akhirnya Lang juga yang mensuplai kebutuhan hidup mereka. Denni
tak juga segera bekerja. Pola lakunya tak juga berubah, kongkow
setiap malam dengan teman-teman di kampungnya. Siang tidur. Kalaupun
dulu kehidupannya tertolong karena ada pekerjaan tetap yang harus
ditekuninya, maka kini suaminya memilih menjadi sopir taksi
pengganti, yang bisa masuk sesuka hati. Padahal lebih banyak ia
memilih gaul dengan komunitasnya yang tidak produktif.
Lang mulai terbiasa dengan hal itu. Setiap bulan ia kembali ke
Jogya, menengok Randu. Dipekerjakannya seorang pembantu untuk
merawat anak itu. Dan ia secara teratur memenuhi kebutuhan anak dan
keluarganya itu.
Ia juga tetap melayani suaminya seperti biasa. Dua hari dalam
sebulan mereka berlaku seperti layaknya suami istri. Hanya di tempat
tidur. Itu berarti hanya dua kali persetubuhan, yang seperti biasa,
tidak menggelora. Selebihnya, mereka, terutama Lang, berjalan di
porosnya sendiri-sendiri. Lang merasa semakin jauh dari kehidupan
perkawinannya.
Lang memilih hidup sendiri di Jakarta.
Ia menyurutkan langkah dari kepenyiaran, dipilihnya liputan, dunia
jurnalistik yang menantang dengan seribu satu tuntutan cara mengejar
nara sumber. Otaknya jadi terasah, sibuk, tak memberi kesempatan
kepadanya untuk melamun sepicing pun. Tak ada lagi waktu untuk
memikirkan ketidakberesan perkawinannya. Dan ia menemukan bakat dan
rasa ingin tahunya yang besar itu menemukan salurannya.
*****
Setahun berselang.
Tak ada perubahan pada diri Lang dan kehidupannya. Hanya saja, enam
bulan terakhir ini ia kembali menghubungi Abi dan Indi. Setiap bulan
ketika pulang, ia menyisakan sehari agar bisa berkumpul dengan
pasangan itu. Atau jika keduanya ke Jakarta, pastilah mereka
berjumpa dan menyisihkan waktu mereguk petualangan bertiga.
Ada yang diserap Lang dari mereka. Ia seolah memperoleh kekuatan
baru untuk meneruskan kehidupan perkawinannya. Dan ia menjadi
terbiasa menjalani kehidupannya yang tidak rasional. Sampai suatu
ketika sebuah pengalaman, tepatnya rentetan pengalaman membawanya
pada sebuah persimpangan baru.
Lang,
Senin depan aku akan ke kotamu. Abi mungkin akan menyusul sehari
kemudian. Ia akan mengikuti simposium di Taman Ismail Marzuki. Kau
booking kan kamar hotel buat kami, kay?
Kamu baik-baik saja kan? Sampai nanti.salam manis,Indi
Sebuah surat biasa. Seperti layaknya jika mereka akan datang
menjenguknya di kota ini. Tapi ada yang tidak biasa pada diri Lang.
Ada sesuatu yang ingin disampaikannya pada mereka berdua. Sesuatu
yang membahagiakannya, yang baru diketahuinya hari ini. Dan ia ingin
berbagi dengan mereka berdua. Meski terus terang, ia tak berani
memikirkan reaksi mereka.
*****
"Huahh, capek banget aku," kata perempuan bertubuh tinggi langsing
itu sambil meghempaskan tubuhnya di ranjang.
Lang tersenyum menatapnya.
"Memang kamu habis ngapain saja sih. Sampai segitunya?"
"Gila aja Lang, dua hari ini aku nyaris nggak tidur. Biasa, ngurusi
sesembarang tetek-bengek kebutuhan Abi kalau mau pentas."
"Pentas? Bukankah katamu dia hanya akan mengikuti simposium besok
itu?"
"Lebih dari itu. Dia harus presentasi di depan seniman yang lain
karena ia dicalonkan untuk menerima funding sebuah proyek. Jadi ia
minta aku kesini dulu untuk rehearsal segala macam kebutuhannya di
TIM, besok itu."
"Oh gitu. Lantas kenapa dia nggak sekalian berangkat saja bareng
kamu?"
"Hmm, malam ini dia musti meeting dulu dengan direktur Lembaga
Indonesia Perancis, jadi baru bisa besok pagi bertolak dari sana.
Sepertinya LIP tertarik mensponsori dia untuk kolaborasi bersama
seorang pemusik Perancis."
Lang hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Indi. Ia senang
akhirnya banyak pihak mengakui eksistensi Abi.
"Dan..., aku sengaja datang duluan karena ..karena kau...," Indi tak
meneruskan kata-katanya. Dia hanya beranjak dari ranjang itu.
Didekatinya Lang yang duduk di kursi dekat minibar yang terletak di
pojok kamar. Ditariknya Lang hingga berdiri, dan digandengnya
perempuan itu ke ranjang.
Lang tak tahu apa maksud Indi mengajaknya ke ranjang. Tidak biasanya
perempuan itu bersikap aneh seperti ini. Memandangnya seolah tak
pernah bertemu, penuh dengan pengharapan. Lang baru mafhum akan
kemauan Indi setelah secara perlahan perempuan itu membuka kancing
kemeja yang dipakainya. Lang memang akhir-akhir ini lebih suka
memakai baju kasual, jeans dan kemeja, karena memberikan kenyamanan
saat ia bekerja. Praktis. Kini kemejanya telah terlolosi. Rabaan
tangan Indi menggerayangi punggungnya, melepas kaitan bra yang
dikenakannya. Perempuan itu melempar bra hitam itu ke pojok ranjang,
dan perlahan jemari lentiknya menyentuh buah dada Lang yang mulus.
Dan tanpa ia dapat mengendalikan diri, Indi mulai menciumi wajah
Lang, dari kening, ke pipi, dan akhirnya bibirnya menyentuh bibir
perempuan itu.
Indi sesekali mengamati ekspresi Lang. Ia ingin tahu bagaimana
reaksinya ketika tangannya menjamah tubuhnya. Ia tak dapat menahan
diri tadi, ketika melihat perempuan itu semakin hari semakin matang
dan mandiri. Sejak lama Indi menginginkan pergulatan berdua semacam
ini. Ia tahu, Abi dan Lang sering melakukannya tanpa kehadirannya.
Ia ikhlas, ia rela. Hanya saja, entah kenapa fantasinya meliar. Ia
ingin sesekali bercinta dengan Lang tanpa kehadiran Abi. Dan
kesempatan itu terbuka saat ini. Biasanya ia selalu datang
berbarengan dengan suaminya itu, tapi kini, ia ada disini. Hanya
berdua, dengan Lang. Dan Indi tak dapat menahan rasa bahagianya,
karena fantasinya akan menjadi kenyataan. Ingin direguknya semuanya
sampai tetes terakhir.
Seolah mabuk, Lang membalas perlakuan itu. Ia lucuti pakaian Indi.
Dan mereka bergelut dalam kelembutan tiada tara. Butir-butir
keringat membasahi tubuh mereka bercampur basahan lidah, menjilat
satu sama lain. Ia biarkan bibirnya diciumi Indi. Ia biarkan
perempuan itu menguasainya. Sampai ketika ia hampir pada
pencapaiannya, tiba-tiba otaknya bak terguyur air dingin. Di tengah
kenikmatannya itu ia hampir menyebut nama Abi. Padahal, bukankah ia
sekarang sedang bergelut dengan Indi?
Perlahan kesadaran Lang mengemuka, birahinya mendingin. Ini bukan
hubungan yang ia inginkan. Ini bukan kodratnya. Lang merasa bersalah
kepada Abi ketika tubuhnya tersentuh tangan Indi. Tapi, tak ada lagi
titik balik. Ia tak boleh memperlihatkan perasaannya ini kepada
Indi. Akan jadi sebuah bencana kalau perempuan itu tahu ia 'menolak'
sentuhannya. Dan ia bisa meradang dan menutup semua lini hubungan
Lang dengan Abi.
Selanjutnya yang dilakukan Lang adalah berpura-pura. Ia kini
mengambil kendali, segera ingin diselesaikannya memuasi Indi. Ia
yakin sentuhannya akan membuat istri Abi itu mencapai puncak
orgasmenya. Dan mulailah Lang merangsang setiap titik intim
perempuan itu. Sampai akhirnya, sebuah lenguhan panjang dan regangan
tubuh Indi mengindikasikan pencapaiannya.
Waktu terhenti.
Lang menemukan kenyataan baru. Dirinya kembali berlaku irrasional.
Ada perasaan memberontak terhadap kejadian yang berlalu baru saja.
Anehnya, pemberontakan itu membahagiakannya. Ia jadi tahu dirinya
normal adanya. Kalaupun selama ini ia mengijinkan sebuah petualangan
yang berbeda, maka ia jadi memahami bahwa dirinya melakukan itu
semua demi cinta Abi.
*****
Simposium itu berlangsung dengan sukses. Pementasan Abi singkat
saja, tapi mengundang decak kagum koleganya. Apalagi ketika kemudian
ia menjelaskan konsep bermusiknya, membuat yang lain sepakat bahwa
dia memang layak mendapatkan pembiayaan untuk programnya.
Lang sengaja duduk di kursi paling belakang selama acara itu
berlangsung. Seperti biasa ia mencoba tak menonjolkan diri di
komunitas ini. Biarlah. Ia lebih baik menjaga perasaan Indi dengan
cara membiarkan perempuan itu berada di samping Abi dalam setiap
penampakan publiknya. Toh, memang itu haknya. Dan Lang tak ingin
merebut apapun dari Indi. Jadi, ia memilih menjadi bukan apa-apa.
Seperti saat itu.
"Hoii, ngelamun apa lagi sih," sebuah sentuhan lembut di bahunya
menyadarkan Lang. Ditengoknya siapa yang berdiri di sampingnya itu.
Abi. Indi juga. Lang tersenyum melihat mereka.
"Kalian sudah selesai?" Mereka menganggukkan kepala.
"Aku ingin bicara dengan kalian,"
"Ah, tentang apa, kok misterius banget kesannya?"
"Hm, sesuatu yang penting untukku, tapi barangkali tidak penting
untuk kalian. Aku tidak tahu."
"Bagaimana kalau kita bicara nanti setelah berada di kamar saja?"
Indi menawarkan sebuah kemungkinan. Mereka sepakat.
Lang seolah kehilangan kemampuan bicaranya. Masalah yang dihadapinya
cukup pelik, meski dia sudah tahu ini bakal terjadi, dan ia siap
menghadapinya. Tapi untuk mengatakan kepada pasangan yang kini duduk
di depannya, ia habis keberanian.
"Ayolah kau mau bicara apa sih?" dorong Indi agar ia segera angkat
suara. Mereak duduk berjajar di pinggir ranjang. Sementara
dilihatnya Abi duduk menyandar di meja rias yang terletak mepet di
dinding. Ia bersedekap sambil menatap Lang. Laki-laki itu seolah
tahu apa yang akan dibicarakannya. Dan hal itu memberikan kekuatan
kepada Lang.
"Aku..aku..aku hamil."
Wajah-wajah menegang. Senyap. Tak ada suara. Lang melihat Indi
begitu shock, menatapnya dengan pandangan tak mengerti. Abi juga
masih lekat menatap mata Lang yang kini sama sekali tak dapat
menterjemahkan artinya. Mereka memang tak pernah membicarakan akibat
paling logis dari hubungan itu. Mereka tidak pernah menggunakan
pengaman apapun. Dan kini ketika buah perbuatan itu menjelma, seolah
berubah menjadi petir di siang hari bolong.
Lang tersenyum mafhum melihat reaksi keduanya. Meski tak bisa
memastikan, ia sudah bisa menduga sebelumnya.
"Kalian tak perlu panik, aku tak minta tanggungjawab apapun. Hanya,
jangan minta aku melakukan hal bodoh," ujar Lang, "aku akan
memelihara kandungan ini dengan seijin kalian. Aku menginginkannya."
"Tapi tak bisa sesederhana itu Lang, bagaimana dengan Denni?" tanya
Abi.
"Aku akan mengatasinya. Ia tak perlu tahu siapa bapak dari janin
yang aku kandung ini. Biarkan ia mengira dirinyalah bapak si
jabang."
"Tapi...,"
"Sudahlah. Aku hanya ingin memberitahukan hal itu kepada kalian.
Barangkali aku memang gila, tapi aku tulus menginginkan anak ini."
Tiba-tiba ruangan itu terasa sumpek. Lang dapat merasakan kegetiran
dan kekikukan yang terjadi akibat fakta yang baru saja
diungkapkannya. Dan ia lebih baik pergi. Ia ingin membawa cikal
bakal manusia yang ada di rahimnya itu menjauhi tempat ini.
Perasaannya tak enak. Ia yakin sebentar lagi badai akan mengamuk
dalam kamar ini. Di dekatinya Indi yang masih terduduk kaku.
Diciumnya kening perempuan itu. Kemudian ia mendekat Abi, yang
segera memeluknya.
"Aku pamit," bisiknya lirih di telinga Abi.
Laki-laki itu mengerti. Ia mempererat pelukannya. Ia mungkin tak
akan bertemu dengan Lang lagi. Entah sampai kapan. Sejurus kemudian
dilepaskannya wanita itu, dan ditatapnya terus Lang yang beranjak
meninggalkan kamar. Diamatinya perempuan yang kini berjalan anggun
keluar dari kamar itu.
Kini pandangannya beralih kepada Indi. Didekatinya perempuan yang
duduk di tepi ranjang itu. Airmata tampak mengalir di pipinya.
Diraihnya tangan istrinya itu, digenggamnya erat sambil ia bersimpuh
di depannya.
"Kenapa kau mengijinkannya?" bisik Indi tak mengerti, "bukankah kita
sudah sepakat, di antara kita sendiri, bahwa kau bebas berhubungan
dengan siapa saja, asal tak sampai ada keturunan mewarnai hubungan
itu?"
Abi hanya bisa diam. Ia memahami istrinya tertikam oleh kenyataan
ini. Ia lebih baik membiarkan pertanyaan Indi tak terjawab dengan
kata-kata, meski ia tahu pasti jawabannya: Ia membiarkan Lang
mengandung janin keturunannya, karena ia begitu mencintai perempuan
itu. Dan ia membiarkan perempuan itu memilih jalan yang dipilihnya
sendiri, mengandung anaknya. Lang bisa mengatasi masalahnya, Abi
tahu persis tentang hal itu. Dan ia tak bisa melarangnya. Ia hanya
bisa berserah pada hidup, yang entah akan membawa mereka kemana.
Diletakkannya kepala di pangkuan Indi. Perih hatinya. Lang telah
pamit. Abi tahu, jika perempuan itu telah memutuskan sesuatu, akan
terjadi persis seperti itu pula. Dan ia bersiap untuk sebuah
kehilangan. Dibiarkan sebuliran air mata mengalir dari pipinya,
jatuh ke pangkuan istrinya, tanpa suara.
Aku datang semilir seperti angin menggelitik dedaunan, menawarkan
kesejukan dan jangan sekali-kali tunda kepergianku karena badai
menjelang, merubuhkan gegunungan
(kehidupan ternyata bak aliran air di sungai, membelok ke sana ke
mari, mencari setiap kemungkinan, dan Lang adalah butirannya)
Bersambung...

No comments: