Tuesday, May 1, 2007

NAFSU UDIK 1

Aku wanita 'udik' 23 tahun, telah berkeluarga dan punya satu anak
lelaki umur 2 tahun. Aku memang kawin muda, 18 tahun. Begitu tamat
SMU Aku dinikahkan dengan pria pilihan orang tua. Suamiku, sebut
saja Bang Mamat namanya (samaran) waktu menikah denganku usianya 35
tahun, sudah mapan, punya usaha sendiri. Kenapa Aku mau menerima
lamaran seorang pria yang 17 tahun lebih tua. Pertama, karena Aku
memang dididik untuk patuh kepada orang tua dan Aku anak tunggal.
Kedua, lingkunganku di pedalaman selatan Jakarta memang mengharuskan
gadis seusiaku segera menikah. Ketiga, Bang Mamat memang baik hati.
Dia begitu sibuk mengurus usahanya sampai "lupa" mencari calon
isteri. Keempat, meskipun Aku punya banyak kawan lelaki dan beberapa
diantaranya naksir Aku, tapi semuanya hanya sebagai teman biasa
saja. Tak satupun yang pernah Aku "jatuhi" cintaku, kecuali
seseorang yang sempat mengisi hatiku, tapi banyak halangan (nanti
Aku ceritakan tentang Mas Narto ini). Pendeknya, Aku belum punya
pacar. Kelima, Aku termasuk tipe penyayang anak-anak. Sudah banyak
anak-anak tetangga yang Aku "pinjam" untuk kuasuh. Aku ingin menjadi
seorang Ibu.
Tahun-tahun pertama masa perkawinanku memang membuatku bahagia. Bang
Mamat begitu mengasihiku, penyabar, penuh pengertian. Apalagi
setelah Si Randy, anak kami lahir, rasanya Aku adalah ibu yang
paling bahagia di jagat ini. Bang Mamat juga sangat menyayangi anak
lelakinya. Makin semangat mengurusi usahanya yang akhir-akhir ini
terkena dampak krisis ekonomi. "Aku berjanji akan bekerja keras
hanya untuk kamu dan Randy," katanya suatu ketika. Terharu Aku
mendengarnya. Aku berterimakasih kepada orang tuaku telah
mempertemukan Aku dengan Bang Mamat. Menikah dengan pilihan orang
tua memang tak selalu pilihan yang salah.
Kerja keras Bang Mamat dan anak buahnya membuahkan hasil.
Perusahaannya telah berhasil memperluas pasar sampai Kualalumpur dan
Chiang-mai. Krisis ékonomi tak hanya berdampak buruk, tapi malah
membuat produk usaha kami jadi mampu bersaing dalam harga.
Keberhasilan ini membawa dampak lain, yaitu pada Aku sendiri. Waktu
Bang Mamat banyak tersita oleh pekerjaaannya, sehingga mengurangi
waktu buatku. Apalagi Randy sudah dapat "dilepas", Aku jadi punya
banyak waktu luang. Aku sering kesepian. Dalam sepi ini Aku sering
mengharapkan Bang Mamat pulang, lalu mencumbuku, dan diteruskan
dengan hubungan seks yang nikmat. Ya, akhir-akhir ini kehidupan seks
kami jadi meredup. Bang Mamat menjadi jarang memberiku "nafkah
bathin", jarang menyetubuhiku.
Kehidupan seks-ku waktu remaja boleh dibilang "kuno". Kawan lelaki
banyak, pacaran baru sekali, itu pun secara back street, diam-diam,
karena orang tua tak memberi restu. Cara berpacaranpun tak seperti
remaja kota jaman sekarang sampai tidur bersama sewa hotel. Kami
hanya sekedar cium-ciuman dan meraba-raba. Sehingga dengan Bang
Mamat suamiku-lah hubungan seks-ku yang pertama kulakukan. Kepada
Bang Mamatlah keperawananku kupersembahkan.
Kadang Aku menangis sendiri dalam sepi, ingat beberapa tahun lalu
Bang Mamat begitu menggebu-gebu melumatku sampai Aku terasa
melayang-layang, mandi keringat dan lalu kelelahan. Itu dilakukannya
hampir setiap hari. Bahkan dikala libur, Bang Mamat "minta" beberapa
kali dalam sehari. Senyum sendiri Aku ketika ingat kejadian pagi di
hari libur, kami bersetubuh di ruang tamu dan hampir "tertangkap
basah" oleh anak buah Bang Mamat. Aku dan Bang Mamat sedang
duduk-duduk santai di ruang tamu. Hari libur itu suamiku sedang
menunggu stafnya yang akan melapor hasil penjualan bulan berjalan.
Kami duduk saling merapat, lalu mulailah Bang Mamat mencumbuiku.
Diciuminya seluruh wajahku, lalu leherku. Tangannya mulai menyusup
ke dasterku. Dengan lembut disentuhnya puting dadaku, sentuhan
lembut beginilah yang membuatku terhanyut. Lalu diremasnya buah
dadaku perlahan. Aku mulai terrangsang. Bang Mamat memang nakal.
Dipelorotkan sarungnya, dan nongollah batang penisnya yang amat
tegang. Aku tak menyangka dia tak memakai celana dalam. Rasanya
sehabis "permainan pagi" tadi kami mandi dan Bang Mamat mengambil
pakaian dalam lalu pakaian kebesarannya : oblong dan sarung. Entah
kapan dia melepas cd-nya. Ditariknya tanganku ke selangkangannya,
kubelai-belai penisnya dengan penuh perasaan. Sementara Aku sendiri
tambah terangsang.
Bang Mamat cepat-cepat melucuti pakaianku, lalu sarung dan
oblongnyapun telah tergeletak di lantai. Kami telah telanjang bulat.
Aku ingin Bang Mamat segera "mengisi" selangkanganku yang telah
melembab. Kutarik Bang Mamat ke kamar.
"Di sini aja deh," katanya menahan tarikanku.
"Gile Bang, dilihat orang," protesku.
"Engga akan kelihatan dari luar deh," sahutnya. Ruang tamu kami
memang ada jendela kaca lebar, tapi tertutup viltrage. Pandangan
dari luar memang tak bisa menembus ke ruang tamu.
"Kunci dulu dong pintunya." Bang Mamat melepaskan tindihan ke
tubuhku, bangkit menuju pintu. Pria telanjang bulat dengan penis
yang tegang, lalu berjalan adalah suatu pemandangan yang agak lucu,
walaupun hanya beberapa langkah.
Aku mempersiapkan diri. rebah terlentang di sofa, sebelah kakiku
terjuntai ke lantai. Sebelah lagi Aku angkat ke sandaran sofa.
"Oh .....! " Bang mamat terperangah melihat posisiku. Ditubruknya
Aku. Dibenamkan mukanya ke selangkanganku. Nafsuku makin memuncak
ketika kurasakan "kilikan" lidah bang Mamat di bawah sana. Untung
Bang Mamat segera tahu bahwa Aku sudah "siap". Dia bangkit, bertumpu
pada kedua lututnya di antara kedua pahaku, mengarahkan "si gagah"
ke mulut vaginaku. Aku memejamkan mata menunggu saat-saat nikmat
ini.............
Tiba-tiba pintu diketuk. Bang Mamat bangkit, urung penetrasi. Secara
refleks Aku menyambar daster dan menutupi tubuh telanjangku. Dari
posisi rebahku ini Aku bisa melihat melalu kaca jendela lebar,
seseorang berdiri di depan pintu. Pak Sakir (samaran juga) pagi ini
memang diundang suamiku untuk melapor. Aku langsung beranjak sambil
memunguti bra dan cd-ku, tapi Bang Mamat mencegahku sambil menutup
jari telunjuknya di bibir. Lalu, hampir tanpa suara dia kembali
merebahkan tubuhku, membuka pahaku lebar-lebar, lalu mulai menusuk.
Aku harus menutup mulutku dengan telapak tangan dan berusaha
mati-matian untuk tak mendesah, apalagi merintih. Padahal, pompaan
bang Mamat enak dinikmati sambil mendesah, melenguh, merintih,
bahkan teriak! Apa boleh buat, kondisi tak mengijinkan. Aneh juga
rasanya. Kami sedang asyik menikmati seks, sementara beberapa meter
di dekat kami, berdiri seseorang menunggu, sambil sesekali mengulang
mengetuk pintu, tak tahu apa yang sedang kami lakukan. Tak tahu?
Entahlah. Orgasmeku tak optimal, sebab tak "lepas", harus menutup
mulut. Tak apalah, toh nanti malam kami akan lakukan lagi. Aku
cepat-cepat memunguti pakaianku yang berserakan di lantai, lalu
masuk kamar. Bang Mamat menemui Pak Sakir hanya dengan belitan
handuk di pinggangnya, seolah bersiap mau mandi.......
***

Rheina "Ipeh" Mariyana Rheina Maryana pemeran "Ipeh" di Bagito
(Sumber: satulelaki.com) Pembaca, perkenankan saya flash-back
dulu, agar Anda mendapatkan gambaran yang utuh tentang diriku.
Masa remajaku cukup menyenangkan. Aku banyak dikenal di
lingkungan sekolah, terutama cowoknya, karena Aku gampang
bergaul. Dari banyak teman cowok, beberapa di antaranya pernah
mengungkapkan cintanya kepadaku, atau meminta Aku jadi
pacarnya. Tapi semuanya Aku jawab sama, cuma berteman, Aku
belum ingin terikat. Mereka mengatakan Aku mirip Ipeh, itu lho
yang suka nongol bareng Bagito waktu melawak sebagai bintang
tamu (makanya aku pinjam namanya).
"Tapi kamu lebih seksi," kata mereka. Seksi apanya? Mereka tak
mau terus terang mengatakannya. Akhirnya Aku tahu sendiri.
Bila Aku sedang jalan-jalan, di Mall atau gedung bioskop, atau
jalan kaki dari halte bus ke rumah dan sebaliknya, bila
berpapasan dengan cowok, Aku perhatikan mereka, terutama cowok
dewasa, setelah menatap mukaku matanya langsung menuju dadaku.
Mungkin bentuk dadaku ini sehingga mereka mengatakan Aku
seksi?

(Di kemudian hari penegasan tentang hal ini Aku dapatkan dari Mas
Narto, cowok yang sempat mengisi hatiku). Mulanya Aku memang tak
menyadari akan "kelebihan"ku ini. Bentuknya sama dengan umumnya buah
dada, dua bulatan kembar. Tapi setelah hampir setiap mata cowo
mengarah ke sini, Aku jadi memperhatikan, apanya sih yang menarik
perhatian mereka? Ukurannya barangkali. Kalau kami rombongan cewe
pulang sekolah jalan-jalan di Mall mampir ke lingerie-corner, bra
yang kubeli memang nomornya paling besar. Menyadari hal ini, Aku
jadi lebih berhati-hati mengenakan pakaian atasan. Kalau tak perlu
benar Aku jarang memakai atasan yang ngepas, sebab tonjolan
kembarnya makin nyata, walaupun bra yang kupilih jenis yang tipis
.....
Ayah, Ibu, dan Aku menempati rumah di selatan Jakarta ini secara
turun-temurun. Ini memang rumah warisan dari kakek. Rumah sederhana
tak begitu besar, 4 kamar tidur, hanya halamannya cukup luas yang
ditumbuhi banyak pohon rambutan dan belimbing. Waktu Aku SD dulu
lingkungan kampung ini amat sepi. tapi sekarang setelah wilayah ini
berkembang menjadi lokasi pendidikan, banyak kampus baru dibangun,
dari perguruan tinggi yang terkenal sampai institusi pendidikan yang
kampusnya hanya "ruko" serta berbagai macam kursus, daerahku jadi
ramai. Pembangunan kampus-kampus diikuti oleh pembangunan usaha
ikutannya seperti restoran, warung makan (segala jenis makanan ada),
toko buku dan alat tulis, usaha fotokopi, wartel dan warnet, kantor
pos, bank, dan tentu saja usaha kost.
Rumah kami sering didatangi mahasiswa yang ingin kost, sewa kamar,
atau ngontrak. Ayah tak pernah menerimanya.
"Tanggung," kata Ayah. "Cuma punya satu kelebihan kamar."
Sampai pada suatu saat Ayah terpaksa menyewakan kamar yang kosong
itu, karena diminta oleh sahabat Ayah yang tinggal di Bandung untuk
anaknya, Didin. Didin tinggal setahun lagi menyelesaikan kuliahnya.
Aku masih di SMP. Ketika Didin menamatkan kuliahnya dan cabut dari
rumah pindah ke Jakarta, kamar diisi lagi oleh anak lelaki kawan
Ayah yang tinggal di Salatiga, Narto (bukan nama sebenarnya)
namanya. Aku masuk SMU.
Awalnya tak ada apa-apa antara Aku dan Mas Narto. Aku mulai tertarik
karena Narto sebagai anak kost bersedia membantu Ayah, Ibu dan Aku,
selain karena dia cerdas. Aku serasa mendapatkan guru privat untuk
mata pelajaran Matematika, Fisika dan Kimia. Dia pernah usul pada
Ayah untuk mengembangkan rumah kami menjadi kost-kost-an
memanfaatkan lahan kosong yang terletak di samping-depan rumah.
Desain kamarnya dia bikin, bisa jadi 20 kamar kalau 2 lantai.
"Biayanya dari mana?" kata Ayah.
"Pinjam dari bank, Pak."
"Emang gampang minjem duit di bank."
"Ada persyaratannya, memang. Sertifikat rumah untuk borg, dan
proposal usaha."
"Proposal apa?"
"Saya dan teman-teman yang bikin proposal," ujar Narto.
Hitung-hitungan Mas Narto, kami bisa mendapatkan penghasilan lumayan
dari usaha ini setelah dipotong cicilan dan bunga bank disamping
bisa memberi pekerjaan paling tidak untuk 2 orang. "Saya jamin kamar
akan selalu terisi," tambah Mas Narto meyakinkan Ayah. Untuk hal ini
Aku sependapat dengan Mas Narto. Rumah kami memang letaknya
strategis, tak jauh dari jalan raya, tapi cukup hening dan teduh,
lingkungan yang hijau. Tapi ayah masih pikir-pikir, belum
mengiyakan.
Mas Narto selalu ada waktu buatku kalau Aku nanya-nanya PR ketiga
mata pelajaran itu. Penjelasannya malah lebih enak dibanding guruku,
mudah dimengerti. Aku bebas saja keluar masuk kamarnya. Sudah biasa
kalau Aku mendapati Mas Narto hanya bercelana pendek di kamarnya.
Kadang Mas Narto juga masuk ke kamarku, dengan seijinku. Pernah
ketika Mas Narto masuk ke kamarku dan kami ngobrol sambil Aku terus
melipat lengan di dadaku. Aku baru saja selesai mandi dan belum
sempat mengenakan bra, hanya t-shirt saja. Aku dan juga seisi rumah
menganggap kami seperti kakak-adik. Anehnya, kalau Mas Narto liburan
semester dan pulang kampung, aku merasa sepi, Aku merindukan
kehadirannya. Sebaliknya, bila teman sekolah (cowok) main ke rumah,
roman muka Mas Narto menunjukkan rasa kurang senang. Sampai suatu
ketika, ternyata Mas Narto menganggapku bukan sekedar adik saja
.....
Sore itu kami sedang membahas satu soal PR Fisika yang rumit di
kamarnya. Aku tercenung memandangi soal, tak tahu apa yang musti Aku
buat, sementara Mas Narto sibuk membongkar buku referensi. Ketemu
catatan kuliahnya. Kami meneliti tulisan tangan yang sebagian kabur
itu, sehingga wajah kami begitu berdekatan. "Ketemu caranya ..!"
teriak Mas Narto kegirangan, lalu tiba-tiba dia mengecup pipiku. Aku
sejenak kaget dan terpana. Tempelan bibir Mas Narto pada pipiku
barusan terasa sampai di dalam dadaku, berdebar-debar. Berbeda
rasanya dengan ciuman pipi dari pamanku, misalnya. Mas Narto
tampaknya juga kaget sendiri atas kelancangannya. Matanya tajam
menatapku. Lalu tangannya mengelus pipiku bekas kecupannya tadi.
Terus tangannya bergeser ke daguku, diangkatnya daguku. Aku masih
terpana, tak berreaksi. Pun ketika dia menunduk mendekatkan wajahnya
ke mukaku. Detik berikutnya bibirnya telah menempel di bibirku. Aku
merasa aneh. Belum pernah seorang pria sampai mencium bibirku. Aku
mendorong bahunya sampai ciuman terlepas. Entah mengapa, Aku jadi
pengin marah. Mas Narto tahu situasinya, cepat-cepat dia memegang
tanganku dan meminta maaf.
"Sorry ya Ipah ....." hanya itu yang keluar dari mulutnya.
"Kenapa Mas seberani itu ?"
"Karena Mas sayang ama kamu, Ipah ...maafin Mas ya ..". Kenapa Aku
harus marah? Ucapannya barusan tak mengagetkanku. Aku telah
menduganya dari perilakunya selama ini, begitu perhatian padaku.
Jujur saja, Aku juga mulai menyayanginya.
"Okay deh Mas, Ipah maafin."
"Mas sayang ama kamu."
"Iya, Ipah tahu."
"Apa jawabmu, Ipah?"
Aku diam. Rasanya berat mau bilang, 'Ipah sayang juga'. Tak
sepatahpun keluar dari mulutku.
"Ipah ....?"
"Entahlah Mas ...." sahutku, tapi Aku merebahkan kepalaku di dada
Mas Narto. Lalu Mas Narto mencium bibirku lagi, kali ini Aku tak
menolak, tapi masih pasif. Saat kurasakan nikmat menjalar ke
kepalaku, Aku mulai membalas lumatannya. Mas Narto makin semangat
..... Sore itu Aku merasakan ciuman pertamaku.
***
Pertemuan-pertemuan kami berikutnya selalu dihiasi dengan
cium-ciuman. Bahkan Mas Narto mulai berani meraba-raba tubuhku.
Pertama kali telapak tangan Mas Narto menyusup ke dalam bra ku
kurasakan hanya geli. Tak ada enaknya. Begitu pula ketika
jari-jarinya menyentuh puting dadaku. hanya geli. Tapi lama
kelamaan, Aku menikmati isapan mulut Mas Narto di puting dadaku.
Enak, serasa melayang, dan lalu kurasakan basah di bawah sana.
"Dadamu bagus" pujinya berulang-ulang.
Pelajaran lain yang kudapat adalah tentang ketegangan tubuh Mas
Narto.
Kami sedang duduk di karpet kamarku bersandar pada dinding sambil
berciuman. Aku bermaksud meraih pinggangnya mau kupeluk, tapi Mas
Narto menggeser duduknya sehingga tanganku menyentuh
selangkangannya. Sekilas Aku merasakan sesuatu yang keras di balik
celana pendek Mas Narto. Kembali Aku meraih pinggang, tapi Mas Narto
menahan tanganku untuk tetap di situ. Bahkan menuntun tanganku untuk
mengusap-usap di daerah sana. Aku menurut saja. Sambil terus
berpagutan bibir, kini tanganku dituntun ke pinggangnya. Aku peluk
erat. Aku merasakan tangan Mas Narto kembali ke selangkangannya dan
melakukan sesuatu. Aku tak bisa melihat apa yang dilakukannya,
karena kami terus saling melumat bibir. Beberapa saat kemudian,
tanganku diambil dari pinggangnya kembali ke selangkangan. Aku
kaget. Telapak tanganku merasai benda keras dan hangat. Ciuman
terlepas. Mas Narto memang nakal. Tadi dengan diam-diam dia melepas
rits celana dia, melorotkan cdnya dan mengeluarkan "isi"nya. Baru
kali ini Aku melihat kelamin lelaki dewasa yang sedang tegang.
Melihat sesungguhnya, bukan hanya gambar. Dengan wajah "tanpa dosa"
Mas Narto menuntun tanganku untuk mengocok penisnya. Dan anehnya,
Aku nurut saja. Juga ketika dengan agak kasar dia membuka bra-ku dan
menciumi putingku. Sampai akhirnya lenganku, sampai atas, serasa
diciprati cairan hangat. Mas Narto ejakulasi. Entah apa yang
kurasakan waktu itu. campuran antara rasa aneh, jijik, rasa
bersalah, tapi juga sedikit kepuasan telah mengantarkan Mas Narto
sampai ke puncak ejakulasi.
Hanya begitulah pacaran kami yang paling "liar". mas Narto tak
pernah memaksakan kehendaknya. Apa yang aku larang, dia menurut.
Suatu siang di kamarnya yang terkunci, kami bercumbuan sampai
"panas". mas Narto sudah telanjang bulat. Dia juga telah berhasil
melepaskan jeansku. Ketika cdku hendak dilepaskannya pula, dengan
tegas Aku menolak.
"Mas engga akan berbuat itu, Yang ..." katanya sambil terengah.
"Iya, Ipeh tahu. Tapi engga Mas"
"Pengin ciumin aja"
"Engga Mas, engga"
"Lihat aja deh, sebentar"
"Mas!" seruku sambil melotot.
Dia lalu seperti tersadar, dan minta maaf. Dia tak pernah mengulangi
permintaannya yang bagiku nyeleneh itu. Satu permintaan nyelenehnya
lagi adalah waktu Aku, seperti biasa, hendak melepaskan
ketegangannya dengan mengonaninya. Tanganku baru mulai mengelusi
penisnya ketika dia minta hal yang tak biasa.
"Yang ...... bisa engga."
"Napa?"
"Jangan pake tangan."
"Lalu?" tanyaku lugu.
"Dikulum....."
Aku marah, sehingga batal untuk membuatnya ejakulasi. Sejak itu dia
tak pernah lagi minta dikulum. Bahkan kelak dengan Bang Mamatpun
(suamiku) Aku tak pernah melakukannya. Tapi justru dengan pria lain
ini Ortuku tak menangkap perubahan hubunganku dengan Mas Narto.
Mereka masih menganggap hubungan kami sebagaimana kakak beradik.
Akupun takut bercerita hal ini kepada Ortuku. Aku khawatir mereka
tak merestui hubunganku ini. Yang jelas Aku makin sayang kepada Mas
Narto. Kami memang saling mencintai.
Akhirnya Ayah memutuskan untuk membangun tempat kost, tapi hanya 10
kamar, satu lantai saja. Mas Narto menyambut gembira keputusan Ayah
ini, bersama groupnya dia membuat proposal dan mengajukan kredit ke
bank. Hanya dalam waktu 8 bulan bangunan telah selesai. Bangunannya
memang sederhana, tapi kuat, dan biaya yang dicukupkan dengan dana
kredit. Letaknya di samping kanan agak ke depan dari rumah utama dan
bersambung dengan pintu tengah rumah. Terdiri dari 10 kamar, ada
ruang tamu di tengahnya, 2 kamar mandi. Mas Narto benar, tanpa
beriklan seluruh kamar telah disewa oleh mahasiswa. Sepuluh orang
cowok semua. Selama pembangunan kamar kost itu Mas Narto semakin
dekat dengan Ayah. Sehingga ketika kuliahnya selesai dan meraih
gelar insinyur, tanpa ragu dia melamarku melalui Ayah. Mas Narto
kelihatan amat terpukul ketika lamarannya ditolak Ayah.......
***
Entah kenapa dalam usiaku yang 23 tahun ini Aku jadi begitu
"membara". Aku ingin Bang Mamat melumatku setiap malam, Aku
memimpikan hal itu, bagai kehausan yang tak kunjung puas. Mimpi
tinggallah mimpi. Kenyataannya Bang Mamat semakin tenggelam mengurus
usahanya. Dia menyetubuhiku seminggu sekali, di hari libur.
Sementara Aku menginginkan setiap hari. Pernah suatu malam menjelang
tidur Aku kepingin banget. Aku coba mulai mengelus-elus tubuhnya,
dengan "kode" begitu Bang Mamat telah mengerti bahwa Aku
menginginkan hubungan seks. Dengan halus dan sembari meminta maaf
Bang Mamat menolak, capek katanya. Dia memang benar-benar capek
setelah seharian bekerja keras. Sebentar kemudian dia telah lelap.
Tinggal Aku sendiri, susah tidur dan akhirnya hanya bisa menangis.
Suatu pagi telepon berdering.
"Ipah?"
"Iya benar, siapa nih?" sahutku
"Mas Narto". Kaget Aku bukan main. Sejak Aku menikah dengan Bang
Mamat, Aku sudah melupakan lelaki ini. Sudah hampir 4 tahun tak ada
kabar, kini dia tiba-tiba menelepon. Ada apa?
"Hai! Ada angin apa nih tiba-tiba nelepon?" tanyaku.
"Emmm ... Ayah ada Pah?"
"Udah berangkat dong, kenapa gitu."
"Gini ..... Eh, anaknya udah berapa sekarang?" Mas Narto mengalihkan
pembicaraan.
"Satu dong, laki, hampir 3 tahun, Mas sendiri gimana?"
"Masih seperti yang dulu, belum laku."
"Ah, masa?"
"Bener!" Aku terdiam. Rasanya Aku ikut bersalah.
"Ipah?"
"Ya Mas."
"Tolong sampaikan ke Ayah ya, ada temen Mas mau lihat-lihat tempat
kost."
"Udah penuh tuh Mas."
"Bukan mau kost, dia mau bikin tempat kost, mau lihat hasil karyaku
dulu."
"Kalau cuman itu langsung aja Mas ke sini, engga perlu bilang Ayah
dulu, pasti beliau izinkan."
"Bener nih? Kita mau ke situ, sekarang."
Tiba-tiba Aku jadi berdebar. Bingung, bagaimana Aku harus bersikap
menemui mantan kekasihku ini. Jelas harus berbeda dibanding dulu.
Kini Aku sudah dimiliki orang. Kembali terbayang masa-masa kami
pacaran dulu. Dengan dialah Aku pertama kali berciuman. Juga dialah
orang yang pertama kali menciumi buah dadaku. Juga milik dialah Aku
pertama kali melihat dan merabai kelamin lelaki. Untung hanya itu,
tak berlanjut, sehingga Aku bisa menyerahkan perawanku kepada
suamiku.
Tak seperti biasa, selesai mandi Aku bingung memilih-milih pakaian
apa yang akan kukenakan. Biasanya Aku hanya memakai daster karena
memang jarang bepergian, lebih banyak di rumah. Kalaupun keluar
rumah Aku memilih blouse biasa dipadu dengan rok panjang atau celana
panjang, tak berani memakai blouse atau kaos ketat karena mata para
lelaki yang nakal. Bang Mamat juga kurang suka kalau Aku menonjolkan
bentuk dadaku di luar rumah. Sebaliknya, Mas Narto senang kalau Aku
mengenakan blouse atau kaos ketat. Untuk menyambut Mas Narto, apakah
sebaiknya Aku mengenakan yang ketat? Ah, tidaklah. Meskipun Aku
ingin, tapi nanti bisa menimbulkan kesan tak baik. Akhirnya Aku
pilih blouse yang tak begitu ketat dan rok panjang.
"Pa kabar?" sapa Mas Narto ramah sambil mengulurkan tangan. Wajahnya
tak berubah, masih tampan. Hanya badannya agak gemukan "Baik aja,
Mas". Tanganku digenggamnya erat. Mas Narto datang dengan 2 lelaki.
Lelaki yang satu Aku telah kenal, Si Adi, dia dulu asistennya
sewaktu membangun kamar kost. Yang satu lagi kawannya yang mau
lihat-lihat bangunan. "Okey Di, langsung antar aja Pak Bambang
lihat-lihat. Sama Adi aja ya Pak Bambang, udah lama engga ketemu
sama Ipah, pengin ngobrol" "Okay, gak pa-pa" kata Pak Bambang.
Berdua mereka beranjak. Mas Narto duduk lagi, Aku duduk di sofa
berseberangan dengan Mas Narto.
"Ibu ada?"
"Kan pergi sama Ayah."
"Bang Mamat?"
"Lagi mengabsen nih ceritanya?"
"Ha .. ha ....kamu engga berubah juga. Eh... ada yang berubah ding."

"Apanya ?"
"Udah jadi Ibu, makin cantik aja ...." Mungkin mukaku jadi merah.
Tapi terus terang Aku senang dipuji oleh Mas Narto.
"Kenalin Aku sama si Kecil dong."
"Lagi dibawa main ama pengasuh, Mas."
"Oo .... jadi kamu sendirian."
"Iya ....emang kenapa?"
"Ah engga, cuman ingat 4 tahun lalu." Ada seberkas senyum nakal di
wajahnya. Dulu kami memang cari kesempatan sepi begini untuk
bercumbu. Aku menghela nafas panjang. "Bentar ya Mas, eh, mau minum
apa?" kataku mengalihkan perhatian. "Apa aja yang kamu bikin Mas
mau." Aku buatkan teh manis panas kesukaannya. Sewaktu Aku kembali
ke ruang tamu, Mas Narto telah pindah duduk, di sofa. Dan ketika Aku
meletakkan cangkir di meja dengan sedikit membungkuk, Aku merasa Mas
Narto menatapi dadaku. Aku kembali ke tempat dudukku semula, jadi
kami duduk bersebelahan. Kami ngobrol, kebanyakan bercerita masa
lalu yang manis. Tiba-tiba Mas Narto mencengkeram kedua lenganku.
"Ipah ...." matanya tajam menatapku. Aku diam deg-degan. Mendadak
tanpa kuduga Mas Narto mencium bibirku. Nekat juga ini orang.
Beberapa detik Aku merasai lumatan bibirnya di mulutku, lalu Aku
berontak, kudorong tubuhnya.
"Mas! Sadar engga sih kamu!"
"Pah ..... Mas gak bisa ngelupain kamu, hanya kamu wanita
satu-satunya di hatiku."
"Ipah tahu Mas, tapi sekarang Ipah milik Bang Mamat ...."
"Berilah Aku kesempatan buat melepas rindu, Yang ..." katanya lagi.
"Mas .... Ipah isteri orang lho .... gak boleh gitu dong."
"Sekedar melepas kangen, Yang ..." katanya sambil mendekat lagi.
Tahu-tahu bibirnya sudah mendarat di mulutku. Aku mengelak, tapi
mulutnya terus mengejarku tubuhnya memepet tubuhku. Tak bisa lain
aku menyerah. Kubiarkan bibirnya melumati bibirku. Tangannya
merangkulku. Aku langsung teringat di sofa ini dia pernah juga
mengulumiku. Kenangan yang indah. Mas Narto terus menciumiku,
perasaan nikmat mulai menjalar. Tak boleh berlanjut. Kudorong lagi
tubuhnya. Mas Narto makin memperketat pelukannya. Tangannya mulai
meremasi dadaku. Percuma saja Aku berontak, Mas Narto lebih kuat.
Lagi pula Aku mulai menikmati serangannya setelah jari-jari Mas
Narto mengelusi puting dadaku.
Oh .... dia telah membukai bra-ku! Harus stop, tak boleh berlanjut.
Tapi rasa nikmat manjalar di dadaku dan terus ke bawah, dan Aku
basah! Oh ... Mas ...... jangan mulai! Aku bisa tak tahan ..... Aku
memang sedang kehausan ..... tapi bukan begini, Aku bukan isterimu
.... Entah bagaimana tadi, kenyataannya Aku sekarang telah rebah di
sofa dengan dada telanjang. Mas Narto menindih tubuhku sambil terus
menghisap-hisap puting dadaku. Kurasakan Mas Narto sekarang berbeda.
Dulu cumbuannya begitu romantis, halus, kini nafsunya yang lebih
kentara. Bahkan rokku telah tersingkap..... Pinggulnya telah
menindih selangkanganku..... Tubuhnya telah bergoyang-goyang .....
Selangkanganku merasakan kerasnya gesekan batang penisnya, walaupun
masih ada beberapa lembar kain di antara kelamin-kelamin kami......
Aku makin basah .... Tubuhku mulai terangkat, rasanya ....
Sekonyong-konyong Mas Narto bangkit gugup. Aku ikut bangkit, kulihat
dari kaca jendela dua orang kawannya sedang menuju ke arah kami.
Celaka! Mas Narto bisa dengan cepat berberes, karena pakaiannya
memang belum terbuka. Tapi Aku? membereskan bra, menutup kancing
blouse, mana sempat?
"Masuk aja ..." bisik Mas Narto.
Setengah berlari sambil tangan menutupi buah dada, Aku masuk ke
ruang tengah, lalu langsung ke kamar. Aku menenangkan diri. Nafasku
masih tersengal, gemetaran menahan sesuatu. Kurang ajar. Dibikinnya
Aku tinggi, lalu dilepaskan. Hhhhh .... rasa menggantung memang tak
nyaman. Aku ingin "diselesaikan" ...... Aku butuh waktu beberapa
saat lagi untuk menurunkan nafsuku yang terlanjur naik.
Ketika Bang Mamat pulang, entah kenapa Aku jadi salah tingkah. Aku
tak berani menatap matanya. Aku merasa bersalah. Kenapa Aku tadi
membiarkan Mas Narto meremasi dadaku dan lalu menghisap-hisap
putingnya? Bukankah semua yang ada dalam diriku --termasuk kedua
buah kembar ini-- sudah menjadi milik Bang Mamat? Tapi Mas Narto
lebih dulu memacariku dan Aku dulu mencintaiku. Ah itu hanya alasan
pembenaranmu saja Pah! Tapi toh tak terjadi apa-apa antara Aku
dengan Mas Narto, tak lebih dari hisap-hisapan. Itu juga tak
seharusnya kamu lakukan. Pokoknya tak boleh ada pria selain Bang
Mamat yang boleh menyentuh tubuhmu. Tapi Bang Mamat jarang
menyentuhku. Itu juga bukan alasan! Baiklah, Aku janji tak akan
mengulanginya lagi. Oh, semoga Bang mamat tak tahu perubahan
perilakuku ini.
Bersambung...

No comments: