Sunday, May 6, 2007

METROPOLIS

Namaku Budi. Akibat dampak krisis yang berkepanjangan,
menyebabkan aku dipecat dari perusahaan. Dengan modal
seadanya aku berusaha wiraswasta kecil-kecilan. Baru
mulai dapat pasar, pemasukan sudah mulai membaik, eh
peralatan di tempat usahaku dicuri maling. Apes benar
yah. Sekejam-kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibu kota,
memang ada benarnya.

Akhirnya dengan meminjam modal pada saudara (jelas tidak
mungkin kalau ke bank, apa yang mau diagunkan). Setelah
modal cukup aku coba lagi diusaha yang sama, hanya beda
lokasi (mungkin hong sui yang dulu nggak bagus - pasar
ada tetapi nggak aman).

Pemasukan dari usaha ini tidak begitu baik, tetapi tetap
bersyukur, karena tempatnya aman. Yah aku coba jalani
saja, hingga suatu saat...

Aku punya istri, namanya Ida. Dia bekerja di perusahaan
swasta sebagai staf pemasaran. Gaji yang dia dapat tidak
mencukupi karena (setelah) dipotong dengan biaya
transpotasi dan makan, hanya tinggal beberapa ratus ribu
rupiah. Sementara fixed cost COM (Cost Of Marriage)
alias biaya tetap operasional rumah tangga cukup besar
yang tidak sebanding dengan pemasukan, sehingga aku
usulkan dia berhenti bekerja saja, agar membantu usahaku
dengan demikian aku dapat mengurangi karyawanku dan
menambah pemasukan. Alhasil pemasukan hanya dari hasil
wiraswastaku, mangan ora mangan ngumpul.

Setelah dicoba beberapa bulan, akhirnya dia menolak
dengan alasan pemasukanku fluktuatif, sementara dia
mempunyai penghasilan tetap. Selain itu pekerjaan di
rumah monoton, dan buat apa dia belajar bila tidak
dipraktekkan. Semua alasannya masuk akal, sehingga
dengan berat hati aku menyetujuinya untuk kembali
bekerja di kantor yang sama. Beruntung sebelumnya dia
mendapat cuti di luar tanggungan, belum mengundurkan
diri, sehingga dapat kembali lagi dengan hak yang sama.

Beberapa bulan kemudian istriku bilang ingin mempunyai
anak. Saat ini dia menggunakan spiral sebagai
kontrasepsi (kita sepakat sebelum nikah agar tidak
mempunyai anak bila belum siap secara materiil dan
moril). Aku bilang kondisi saat ini tidak memungkinkan.
Dia tetap bersikeras bahwa banyak anak banyak rejeki.
Aku tertawa mendengarnya. Akhirnya dia menerima untuk
sementara waktu tidak hamil dulu. Aku berikan alasan
bahwa biaya terbesar untuk mempunyai anak adalah
pendidikan dan kedua kesehatan, sehingga dengan kondisi
yang belum stabil, aku belum berani ambil resiko - kita
selalu bermusyawarah dengan memberikan alasan yang masuk
akal, sehingga tidak ada larangan tanpa alasan - alias
otoriter.

Suatu siang, aku "pingin" banget, kita berdua tinggal di
rumah kontrakan di pinggiran Selatan kota Jakarta, yang
hanya mempunyai tiga ruang dengan masing-masing ukuran
tiga kali tiga, ruang pertama ruang tamu, ruang tengah,
ruang tidur yang mempunyai pintu, sedangkan ruang ketiga
adalah dapur dan kamar mandi, sehingga secara
keseluruhan rumah kontrakan ini berukuran tiga kali
sembilan meter, dan itupun berjajar sebanyak lima buah
berdempetan.

Kondisi rumah yang kecil dan panas yang terik, membuat
dia tidur hanya mengenakan CD dan bra, sementara tak
jauh darinya kipas angin dengan kecepatan rendah, sedang
berputar. Pagi hari menjelang siang aku "meminta" tetapi
dia menolak karena capek. Tapi desakan "arus bawah" ini
nggak tahu diri, akhirnya aku berusaha masuk ke kamar.
Ternyata kamar dikunci. Dengan tidak kehilangan akal aku
berusaha melepas anak kunci di dalam kamar dengan
menusuk dari luar dengan obeng, agar jatuh ke koran yang
aku letakkan di bawah pintu. Aduh mau minta "jatah" sama
istri sendiri saja susahnya minta ampun. Saat anak kunci
jatuh, dia terbangun dan anak kunci itu dengan sekali
gerakan dengan kakinya keluar dari koran. Yah apes,
gagal.

Aku coba cara lain. Kabel kipas angin tertancap di stop
kontak di luar kamar tidur (karena stop kontak di kamar
tidur lagi rusak) aku cabut sehingga udara yang
dihembuskan terhenti. Tak berapa lama, dia mulai
berkeringat, dan berusaha menekan tombol-tombol kipas
yang tak bertegangan.

Karena panas dia keluar dan...
"Mas, aku capek tolong jangan dulu, pasang lagi kabel
kipas anginnya!" katanya. Tanpa komentar kulakukan apa
yang dia minta. Yah terpaksa mengalah lagi. Dia kembali
masuk ke kamar untuk melanjutkan tidur tanpa mengunci
kamar. Gagal lagi.

Suatu hari dia memintaku agar bekerja di kantoran, yang
penting mempunyai penghasilan tetap. Aku bilang umurku
sudah tidak muda lagi. Mana ada kantor yang mau. Yang
ada juga sekarang pada di PHK, kubilang.

Saat malam, aku benar-benar "pingin" banget, soalnya
yaitu, dia kalau tidur nggak siang atau malam selalu
hanya CD dan bra hitamnya saja, sementara kulitnya
lumayan putih, jadi kan "arus bawah" selalu meronta. Aku
mulai mendekati dan merayunya, karena sudah beberapa
hari ini aku hanya masturbasi.

"Ma, aku pingin, nih.." sambil mengusap paha bagian
dalamnya, posisinya tidur telungkup. Dia langsung
membalik badan dan duduk serta...
"Kamu disuruh kerja nggak mau, aku pingin punya anak
kamu nggak mau, apa-apa nggak mau, mati aja sana!
ngentot mulu yang dipikirin.." katanya dengan suara
cukup keras, malu juga aku didenger oleh tetangga.
"Ya sudah Ma. Kalau nggak mau yah jangan teriak-teriak
gitu dong. Didengerin sama tetangga kan malu!" jawabku.
Mungkin dia ada masalah di kantor atau kurang sehat, aku
memaklumi, aku keluar kamar dan tidur di ruang tamu.

Di suatu sore, saat sampai di rumah dari pulang kerja,
setelah membersihkan diri dan makan, dia minta tolong
aku untuk ngerokin badannya. Katanya masuk angin. Aku
sedang tanggung memperbaiki peralatan usahaku di ruang
tamu. Ternyata karena nggak sabar menungguku, dia minta
tolong dengan mbak sebelah untuk ngerokin badannya di
kamar tidur kami.

Setelah selesai memperbaiki peralatan, aku menuju kamar
tidur dan kulihat dia sedang tidur-tiduran (dia selalu
tidur dengan telungkup, aku nggak bisa membayangkan saat
dia nanti hamil, kalau jadi, khan repot). Aku coba
memijat pundaknya, dan mengurut punggungnya. Karena
terhalang oleh tali surga alias tali bra, kucoba
melepaskan. Dia diam saja, dan aku terus memijat dengan
siku tanganku secara perlahan, kuturunkan sedikit bagian
belakang celana dalamnya hingga belahan pantatnya tampak
semua (kalau dia protes, akan kujawab CD-nya
mengganggu).

Nampaknya dari hasil pijatanku dia tertidur. Dengan
perlahan kulepas CD-nya, pelan-pelan. Setelah terlepas,
kupijat telapak kakinya sedikit demi sedikit menuju ke
bagian atas sambil melebarkan bentangan kaki kiri dan
kanan, kemudian ke arah betisnya, pangkal pahanya, dan
kuusap paha bagian dalamnya, dan dia mengubah arah
kepalanya dengan membelakangiku (jangan-jangan dia
pura-pura tidur???).

Saat ini rudalku sudah siaga satu, nampak seperti
joystick. Bedanya nggak ada push-button-nya.

Saat kupijat paha bagian dalam sengaja kelingkingku
tidak ikut menekan tetapi kubiarkan menunjuk. Kadang
kugesek ke anusnya, kadang ke klitorisnya (dia mempunyai
klitoris yang sangat besar serta keluar dari penutupnya,
baik dalam posisi terangsang ataupun tidak - mungkin itu
sebabnya dinamakan IDA alias Itil kuDA). Dia ini
tergolong wanita dengan bulu lebat, hingga lubang
anusnya pun banyak ditumbuhi bulu. Takut dianya marah
aku pindah memijat kaki sebelahnya tanpa merubah posisi
dudukku, dan kuulangi lagi mengarah ke atas. Kali ini
aku tidak menyentuh anus atau klitorisnya, tapi kuusap
bulu kemaluan serta bulu sekitar anus tanpa menyentuh
kulitnya.

Aku lepaskan pakaianku. Kebetulan hawanya panas sekali
saat itu. Kuusap kemaluannya, terasa ada seikit lendir,
kubalikkan badannya, dan...
"Ma, main, yah?" bisikku ke telinganya sambil menjilat
daging lunak sekitar telinga.
"Hmmm..." tanpa kata, tapi aku dapat menangkap
maksudnya, pasti bukan penolakan. Segera kutindih
badannya, dan kuhisap putingnya yang berwarna coklat
muda secara bergantian (lucu deh, balita aja kalah mimik
asi-nya). Kemudian kucium mulut dan kujilati sekitar
telinganya, aku tidak berani mencium lehernya karena
masih ada sisa balsem, bukan terangsang yang kudapat
malah kepedasan nanti.

Aku tidak berani memegang rudalku, karena tangan bekas
memijat tadi terkena balsem bekas kerokan yang ada di
punggung istriku. Sehingga dengan penuh perjuangan aku
mencoba memasukkan rudalku ke dalam vagina istriku tanpa
memegangnya, seperti max biagi habis finish terus lepas
tangan, tusukan pertama gagal akibatnya terpeleset dan
menggesek klitorisnya, istriku coba mengangkang lebih
lebar agar lebih leluasa memasukkannya, kutusuk lagi,
dan terpeleset dan...

"Pa, pelesetin terus aja enak kok," katanya ngeledek.
Dalam hati iya enak di kamu, nggak enak di aku. Kucoba
yang ke tiga, akhirnya masuk, tetapi belum masuk semua
hanya bagian kepalanya saja karena agak sempit. Nggak
apa-apa deh yang penting sudah masuk sasaran tembak. Ya
sudah, aku coba tarik-tekan dengan "space" yang kecil
tadi, dengan kesabaran akhirnya semakin basah dan...

"Mph, eh," cuman itu yang keluar dari mulut istriku,
dengan raut muka seperti orang tidur.

Lama kelamaan vaginanya semakin basah sepertinya
mempersilakan rudalku masuk lebih dalam. Kutekan lebih
dalam dan masuk semua, baru tarik-tekan, empat kali, aku
sudah keluar.

"Ma, maaf yah, soalnya sudah lama nggak main jadi
keluarnya cepet," kataku. Dia tidak menjawab tetapi
mengeluarkan lenguhan nafas panjang, artinya dia nggak
puas. Yah siapa sih tahan "palkon" (kepala kontol, red)
belum masuk semua, tapi digesek-gesek sekitar vagina
soalnya belum dipersilakan masuk. Coba deh masturbasi,
tapi yang diurut hanya "palkon"nya saja, kalau nggak
cepet keluar (ya lecet). Udah gitu aku khan udah lama
nggak main jadi yah cepet keluar. Aku agak heran sampe
ada yang main bisa lama saat merawanin anak orang.
Biasanya untuk pertama kali yang cewek akan merasakan
lebih banyak sakitnya ketimbang enaknya, sementara cowok
lebih cepat keluar karena "palkon"nya akan terjepit
dinding vagina karena si cewek menahan rasa sakit. Yah
kecuali kalau cowoknya memakai obat atau Co sudah
pengalaman alias nggak perjaka.

Setelah itu aku berdiri dengan ke dua lututku. Tampak
cairan putih alias spermaku meleleh dari vagina istriku.
Ada sebagian orang yang mengatakan itu cairan yang
menjijikan, didorong bagaimanapun caranya tetap akan
keluar dari kedudukannya (si istri pingin hamil jadi
berusaha spermanya nggak keluar) - beda dengan pejabat
di negara berkembang udah menjijikan didorong pakai
apapun tetap nggak mau turun juga.

Kubersihkan dengan CD hitamnya, dan aku ke belakang
untuk memcuci "rudalku". Setelah selesai aku kembali ke
kamar tidur. Posisi tidur istriku belum berubah, masih
terlentang dengan kaki terbuka lebar dan mata terpejam
(yang jelas bukan tidur kemungkinan kesel, ya).

"Ma, nambah yah?" kataku. Dia diam aja. Aku duduk di
depan vaginanya. Tampak vagina labia minoranya sudah
menutup, tetapi klitorisnya masih tersembul keluar.
Kubuka labia minoranya yang tertutup bulu hitam
keriting, saat akan kujilat...

"Jangan, Pa, kotor.." kata istriku, sambil bangun terus
memegang bagian belakang kepalaku dengan kedua tangannya
serta menghisap bibir bawahku, menghisap dengan sangat
kuatnya dan mencari-cari lidahku. Setelah dapat,
dihisapnya lidahku, terlepas, dimainkannya lidahnya di
gusiku. Saat dia melakukan semua gerakan kulihat matanya
terpejam, saat mendapatkan lidahku, matanya setengah
terbuka yang tampak bagian putihnya saja.

Dijilati leherku, terus ke dua putingku, hingga
"rudal"ku bergerak tetapi belum mengeras hanya "waspada
satu". Selanjutnya dia menjilati lubang "rudal"ku.
Poupss, rasanya mak... Dia suka meng-oral-ku, tetapi
kalau di-oral nggak mau, alasannya kotor bekas darah
menstruasi, keputihan, bau, pokoknya nggak boleh, yah
sudah aku nurut aja, toh aku yang diuntungkan.

Dia memasukkan hanya sebatas kepala "rudal" ke dalam
mulutnya, dihisap, dilepas (hingga bunyi "plop"),
dijilati kepalanya, dihisap lagi, begitu keras menjadi
"siaga satu", dimasukkan semuanya ke dalam mulut,
dilakukan berulang-ulang. Rasanya "rudal"ku sudah keras,
tetapi ada sedikit rasa linu (mungkin setelah keluar
yang pertama tadi dan kencing saat dibersihkan sekarang
dipaksa tegang lagi), sehingga rasa linu ini mengalahkan
rasa nikmat untuk segera "keluar".

Tahu kalau sudah "siaga satu", dia segera mengangkangi
rudalku dan memasukkan ke vaginanya, bergerak naik turun
dengan sangat cepat.

"Oh.. oh.. ohhh.." suaranya keras bener, membuat rasa
linuku hilang berubah menjadi nikmat. Kucoba menutup
mulutnya agar tidak didengar tetangga, malah jariku
dijilati, auw, enak bener. Nggak lama digigit, langsung
segera kutarik tanganku (ganas bener, anjing kalah?),
Eh, malah lebih keras lagi suaranya. Bodo ah, biarin
tetangga denger, kadang seperti orang kepedesan (sshuah
- shuah, padahal nggak ada cabenya), kadang seperti
orang merintih kesakitan.

Sudah capek dengan gerakan cepat naik-turun. Dia
terduduk tetapi tetap bergerak memutar secara perlahan,
kemudian dia roboh, telungkup memelukku, dan menghisap
bibirku. Terasa "rudalku" seperti ada yang menekan, saat
dia melakukan penekanan dengan rongga vagina pada
"rudalku", dia mengangkat sedikit pantatnya dan
menjatuhkannya kembali, akhirnya dia nggak bergerak.

"Capek aku, Pa," katanya dengan napas ngos-ngosan.
Kubalik badannya tanpa melepas "rudal"ku. Tampak
hidungnya kembang-kempis, capek benar kayaknya. Kucabut
"rudalku". Tampak banyak lendir berwarna putih
menyelimuti "rudal"ku, dan di sekitar labia minoranya
ini sih bukan becek tapi banjir, tetapi aku tetap senang
(wanita tidak mengeluarkan atau menyemprot cairan sperma
seperti pria, hanya lendir bening, akibat dikocok terus
menerus maka berubah manjadi putih susu).

Kalau ada yang bilang "jangan sama orang Sunda", "jangan
sama orang Cina", "jangan sama orang berkulit putih",
banjir, becek, menurutku "SALAH", banjir dan becek itu
menandakan wanita itu terangsang "BUKAN" dari warna
kulit, sehingga memudahkan penetrasi. Sebaliknya bila
kering akan sulit sekali penetrasi, kalau dipaksakan
akan berakibat iritasi selain itu akan menyebabkan
ejakulasi premature karena sentuhan yang diterima sangat
luar biasa. Mau tahu buktinya mana ada pemerkosa lama,
paling nggak lebih dari dua menit (aku bukan pemerkosa
lho) yah kalau dia kelamaan keburu ketangkep, tul nggak?
Kalau iritasi perihnya minta ampun. Ada cerita yang
mengatakan pelacurnya nggak tahu kalau tamunya sudah
keluar - itu bisa terjadi bila: pelacurnya acting,
pelacurnya lagi ngelamun atau pelacurnya masih perawan,
lha wong tiap hari ditusukin pasti dia tahu. Mungkin
lebih tahu dari tamunya, soalnya dia berusaha agar
secepatnya ejakulasi, khan prestasi kerjanya di situ.

Aku bersihkan "rudal"ku dan labia minoranya dengan GT
MAN-ku. Selanjutnya kumasukkan kembali, kuangkat kakinya
ke pundakku. Gerakanku pelan (kan habis di bersihkan
jadi agak berkurang lendirnya) begitu mulai basah
kutambah kecepatannya, hingga tak lama akan keluar...

"Mas jangan dikeluarin dulu, Papa berdiri deh," kata
istriku. Segera aku bangun dan dihisapnya. Saat akan
keluar, disemprotkan spermaku ke wajahnya, dan dioleskan
"rudalku" ke wajahnya.
"Kamu kok aneh sih, Ma?" tanyaku.
"Nggak. Kata teman sperma itu obat manjur untuk jerawat.
Selain itu juga mengencangkan wajah!" katanya.
"Kata siapa?" katanya.
"Mbak Maryanah," jawabnya. Hah, Mbak Maryanah itu
tetangga sampingku, orangnya kalem, sopan, guru TK.
Nggak nyangka. Pantes kok nggak pernah jerawatan dan
memang sih wajahnya putih kenceng. Tapi masak sih orang
seperti itu mau melakukan kayak gitu, yah dalamnya laut
siapa tahu?
"Pasti ngelamunin ya?" tanyanya, sambil mencubit
pantatku.
"Tahu aja, habis nggak nyangka sih."
"Sebetulnya dia keberatan ngasih tahunya, tapi aku desak
terus menerus untuk memberikan resep bebas jerawat dan
wajah kencengnya. Kata dia sih cuman aku yang tahu,
jangan diberitahukan ke siapa-siapa, malu katanya,"
jawab istriku.

Setelah kita berdua membersihkan organ vital, kita
menuju peraduan.
"Ma, kamu itu jerawatan bukan pakai sperma obatnya,
tetapi jangan stres!" kataku sambil tidur miring
menghadap ke arahnya.
"Papa ini gimana sih, namanya orang hidup khan pasti
punya masalah, nah khan mesti dipikir!" jawabnya nggak
kalah sengit sambil menekan jidatku.
"Tetapi menurutku jerawatmu itu karena nafsumu yang
nggak tersalurkan, jadi timbul di wajahmu terus sering
marah-marah," kataku.
"Itu maunya Papa agar bisa sering main, tapi gimana yah,
aku khan nggak bisa nafsu kalau aku ada masalah sama
kamu."
"Jadi kamu selingkuh dengan orang lain, memangnya ada
masalah apa denganku."
"Selingkuh, nggak lha yau, nggak selingkuh aja sudah
pusing apa lagi selingkuh," jawabnya tegas. Wah kaget
juga hampir ngantukku hilang. Biasa, habis main biasanya
ngantuk bawaannya.

"Terus masalahmu apa sama aku?" tanyaku.
"Pa, aku bingung ngurus keuangan rumah tangga, semua
keperluan kamar mandi naik, listrik naik, kontrakan
naik. Cuma susuku sama spermamu saja yang turun,"
katanya sambil megang susunya sendiri serta "rudalku".
"Yah larinya kok kesitu lagi," kataku.
"Lho memang kenyataan begitu, kalau sudah gitu khan
pusing, gimana mau main, coba."
"Kok hari ini kamu tumben mau, biasanya marah-marah
melulu?" tanyaku.
"Tadi aku periksa ke tempatmu kerja, kata Lili (kasirku)
banyak pengunjung, jadi pasti kamu bawa uang banyak,"
jawabnya sambil senyum.
"Oohhh," kataku sambil senyum juga.
"Jadi kalau gitu masuk angin dan kerokannya hanya
akting. Pantes nggak merah? agar mancing aku untuk
bersetubuh, memuaskan kamu, dan jerawatmu?" tanyaku
kesal, tapi ngecret juga sih.
"Nggak juga Pa, memang tadi badanku terasa nggak enak,
terus aku di jalan lihat orang di bajaj mesra banget,
bayangin di bajaj aja mesra, kalau di mobil mewah sih
wajar, jadi ingat kamu. Tapi yang lebih penting sih kamu
bawa uang lebih," katanya.
"Lho kok masalah uang lagi?" tanyaku.
"Iya memang itu sumber masalahnya," jawabnya.
"Katanya dulu waktu pacaran sudah siap hidup susah, yang
penting saling mencinta," rayuku.
"Makan tuh cinta," katanya. Aku tersenyum.
"Jadi ada uang abang sayang, nggak ada uang abang
ditendang?" kataku.
"Ember," jawabnya sambil senyum.
"Tahu gini mendingan beli sate dari pada pelihara
kambing," kataku meledek.
"Sapa suruh luh kawin," katanya sambil menaikkan dagunya
yang lancip, sambil merubah posisi tidur dengan wajah
membelakangiku.
"Dasar perempuan, tugasnya ngabisin uang suami," kataku,
yang masih tetap tidur miring menghadap ke istriku.
"Kodrat" jawabnya singkat.

No comments: