Sunday, May 6, 2007

JAY OH JAY

Aku mengenalnya sejak pertama kali kuliah. Saat itu aku
sedang melakukan pendekatan dengan Chie. Perkenalan kami
sangat singkat, namun dari tatapan mata masing-masing
aku dan dia langsung menyelami arti sebuah keakraban.
Karena seperti kata pepatah kuno, hanya setan yang
mengerti setan. Waktu itu Jay juga sedang mengejar Chie.
Jadi kami memutuskan untuk fair-play. Ah, memang teman
lebih berharga daripada pacar. Akhirnya kami bersepakat
untuk mengabaikan Chie yang kemudian mengamuk dan
memutuskan untuk mengikrarkan tali persahabatan antara
kami bertiga.
Jay, kembaranku.
Jay, sahabat terbaikku.

Chie adalah gadis penuh pesona. Gadis yang satu ini
sangat unik. Jarang mungkin kita melihat seorang gadis
indo dengan kulit putih, hidung mancung dan rambut
kemerahan duduk menghabiskan waktu bersama
teman-temannya di warung sate di pinggir jalan, dengan
celana jeans sobek di lutut dan tangan yang
melambai-lambai ke segala arah, setiap kata-kata riang
keluar dari bibirnya. Itulah Chie. Gadis kaya yang lebih
suka naik becak daripada Mercedes. Yang lebih suka minum
es dengan murahan daripada minuman-minuman mahal yang
tersedia di kafe-kafe. Itulah sahabatku, gadis cerewet
yang berbicara seperti kereta api, yang kukenal sejak
penataran mahasiswa baru. Chie, sederhana di balik
gemerlap kehidupannya. Chie, gadis penuh pesona.

Januari 1999

"Raaayy! Selamat ulang tahun..!" Jay memukul kepalaku
dengan sisi organizernya.
"Ach," erangku.
"Sial lu, Jay."
Jay tertawa, mengambil tempat di kursi di depanku,
menatapku lekat dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Ray, tambah tua aja lu."
Aku tertawa dan menghisap Marlboro di jepitan bibirku
dalam-dalam, tersedak saat sesuatu menutupi mataku.

"Raay! Siapa coba?"
Kudengar tawa Jay beriring tawaku sendiri. Kuangkat
telapak tangan di mataku, menariknya ke depan sehingga
pipi gadis itu menyentuh pipiku.
"Hadiah ulang tahun yang indah..." tawaku.
"Hei! Hei!" Jay berteriak gaduh.
Sementara kurasakan cubitan jari-jari mungil itu di
pipiku.

Malang, pukul 01:15 WIB

Aku menikmati udara malam pegunungan ini, seakan-akan
aku sendirilah yang memegang peranan hantu dalam
kegelapan ini.
"Ray!" Sebuah suara lirih berbisik di telingaku.
"Chie sudah tidur."
Kupalingkan wajahku, menatap Jay yang sudah duduk di
sebelahku. Jay menatap kerlipan lampu kota di bawah kaki
kami. Aku dapat melihat alis matanya yang berkerut.
"Untukmu?" senyumku sambil menatapnya.
Jay berpaling, menatap pandanganku. Bibirnya sedikit
terbuka. Jay menolehkan kepalanya ke arah mobil. Tertawa
kecil.
"Ah.. terima kasih," suaranya terdengar sendu, "Kamu?"
"Aku sudah menimbang-nimbang," jawabku.
"Kamu lebih serius, kan?" Jay menatap lekat pandangan
mataku. Aku hanya tertawa saat kepalannya menyentuh
lenganku.
"Thanks, but no thanks."
Kami tertawa berbarengan. Dan kubiarkan Jay larut dalam
lamunannya. Ah, Jay. Masih banyak gadis untukku. Dan
hanya satu gadis untukmu. Seandainya hal ini benar,
mungkin pelabuhanmu sudah dekat di depan mata.

Sementara aku pun akan tetap tenggelam dalam tarian
jemariku di atas tuts-tuts mesin tik tua kesayanganku,
dan gadis-gadisku tentu saja. Dari sudut mataku, kulihat
gadis itu meringkuk di jok belakang. Wajahnya melukiskan
kebahagiaan dan ketenangan. Di sebelahku, Jay menikmati
kepulan asap rokoknya yang membuyar di balik dedaunan
pohon yang mengelilingi kami.

Surabaya, pertengahan Mei 1999

Kupeluk tubuh itu erat-erat. Merasakan kehangatan air
matanya yang membasahi dadaku.
"Ray..." kudengar gadis itu meratap terisak dalam
dekapanku.
"Chie, sudahlah."
"Ray, Papa udah nggak ada."
Kuusap belakang kepalanya, menekan tengkuknya, berusaha
melegakannya.
"Ray tahu."
Chie menangis dalam pelukanku, membuatku sejenak
mengingat ayahku sendiri yang selalu berkutat dalam
pertempurannya dengan idealisme yang kumiliki. Terkadang
aku membayangkan bagaimana rasanya kehilangan seorang
ayah. Mungkin aku takkan sesedih Chie, mungkin juga.
"Ray! Di dalam saja!" Mama Chie memanggilku masuk.
Kupeluk pundak Chie dan menggandengnya, merasakan tubuh
itu menggigil di lenganku.

Saat itu aku sangat ingin memarahi Jay. Sebagai seorang
kekasih dan seorang teman, tidak seharusnya ia
meninggalkan Chie seperti ini, dan sekedar meneleponku
untuk menyampaikan, "Ray, maaf aku tidak bisa ke rumah
Chie. Aduh. Aku benar-benar ada masalah dengan Papa,
jadi aku nggak bisa keluar." Ah, hanya segitu saja? Jay.
Terkadang aku menyesal menyerahkan Chie kepadanya.
Seandainya aku...

Surabaya, awal Juni 1999

Persiapan ujian benar-benar membuat kami sibuk. Aku
mulai berkeliling kota mengumpulkan foto copy makalah
dan paper yang dibutuhkan. Aku memang malas kuliah, aku
harus mengakuinya. Yah, aku sudah merasa cukup senang
dengan kehidupanku sekarang tanpa harus terbebani kuliah
seperti orang-orang kebanyakan yang lebih memuja
akademik daripada skill.

"Halo?"
"Ray?"
"Oh, Chie. Ada apa? Kok malam-malam?"
Sejenak keheningan terdengar dari seberang, membuatku
bertanya-tanya.
"Aku... aku kangen Papa," suara gadis itu terdengar
gemetar.
Ah, Chie. Masih tetap larut dalam kesedihannya.
"Aku besok ujian, Chie."
Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul 23.30 malam.
"Ray..."
Ah! Selalu seperti ini.

Rumah Chie terlihat sedikit gelap. Kuparkir mobilku di
depan pekarangan rumahnya. Chie melambaikan tangannya
dari atas balkon. Wajahnya terlihat berseri-seri,
membuatku sedikit mendongkol karena masuk dalam
jebakannya. "Hihihi, ada Ray." Chie mencondongkan
kepalanya ke depan dari balik pagar dengan sikap manja.
"Pulang dulu, ya?" ucapku, membuatnya menarik kepalanya
dan meruncingkan bibirnya. Kuulurkan tanganku ke sela
jeruji pagar, menarik pipinya, membuatnya mengerang,
membuka pagar dan memukuli pundakku.

"Ray, bagaimana menurutmu tentang keperawanan?" Ahk.
Nyaris saja kopi susu itu keluar dari mulutku dan
membasahi foto copy makalah di atas meja.
"Hah? Kenapa dengan itu?"
Chie terdiam sesaat, menghentikan gerakan ballpoint di
tangannya.
"Chie?" tanyaku.
"Nih, rokok."
Chie menyambar bungkus Marlboro di tanganku dan
membuangnya ke sudut ruangan. Menjentikkan jemarinya
memanggil saat aku tergopoh-gopoh memungut rokok mahalku
sambil menggerutu.
"Dasar! Siapa suruh diam," kataku setelah mendudukkan
diriku di sampingnya, dan menyimpan bungkus rokok itu di
tempat yang aman.

"Ah, Ray," Chie mendesah.
"Aku hanya bertanya," kata Chie.
"Masalah apa?" tanya Ray.
"Yang tadi itu," kata Chie.

"Chie, bagiku keperawanan itu sama saja bagi semua
orang. Keperawanan itu datang dari hati, bukan dari
sekedar selaput dara ataupun yang biasa disebut
orang-orang darah malam pengantin."
Kunyalakan batang rokok di sudut bibirku.
"Seandainya saja pikiran kita sudah lebih terbuka,
mungkin Indonesia sudah kehabisan perawan. Hahahaha..."
Tapi Chie hanya terdiam, memeluk kedua lututnya.
Membuatku salah tingkah dengan kegelianku sendiri. Sial
benar.
"Ray..."
"Ya?"
"Kukira aku sudah tidak perawan lagi..."

Surabaya, Keesokan Harinya

Kucengkeram kerah baju Jay dalam genggamanku, dan
mengangkat kepalanya mendekatiku,
"Maksudmu apa?" desisku berang.
Jay memandang mataku, dan melengos ke arah lain.
"Maaf, Ray."
"Hanya maaf?" Gertakku sambil mengguncang kerah bajunya.
"Cukup segitu?"
Jay terdiam. Kulepaskan kerah bajunya.
"Kenapa tidak terus, Ray?"
"Aku... aku akan membiarkanmu dalam dosa-dosamu."

Kulangkahkan kakiku meninggalkannya. Meninggalkan Jay.
Meninggalkan...
"Ray," Jay berseru di belakangku, "Ingat, sobat. Inilah
kita."
Aku tak mau menoleh. Aku tak ingin mendengarnya. Ucapan
itu sangat pahit dan mengena. Dan karena itu pulalah aku
tidak menghajarnya, walaupun itu adalah tujuanku sejak
semula. Aku juga seperti dia.

Seperti Jay. Sibuk mendoktrin gadis-gadis tentang
kenikmatan free-sex. Sibuk memburu keperawanan
bidadari-bidadari lugu. Tapi bukan Chie. Karena Chie
adalah seorang sahabat. Bukan gadis yang berhak masuk
dalam katalogku. Setan, umpatku dalam hati. Dan itulah
Jay, kembaranku, sobat terbaikku.

Surabaya, awal Agustus 1999

"Chie..."
Kurasakan nafas Chie yang memburu saat mulutnya melumat
bibirku dan jemarinya membuka kancing-kancing bajuku.
"Chie, jangan!"
Chie mendesah. Menghentikan lumatan bibirnya,
menjatuhkan kepalanya di dadaku. Air mata mulai
membasahi dadaku yang terbuka.
"Chie..." desahku, mengusap ubun-ubun kepalanya.
"Ray..."
"Hmm..."
"Kamu pikir akan ada yang mau menikahiku kelak?"
Ah, Chie. Pertanyaan yang sangat sukat untuk kujawab.
Apalagi di saat-saat seperti ini. Di saat aku pun
berjuang melawan desisan hawa nafsu yang bergejolak
dalam diriku.

"Ray..."
"Ada, pasti ada suatu saat nanti," desahku.
"Seorang cowok keren dengan pikiran terbuka?"
"Minimal bule, deh."
Kurasakan Chie meremas lenganku, memberikan respon atas
guyonanku yang nyaris tidak pada tempatnya.
"Bule? Kalau kamu?" Chie menghela nafasnya.
Aku, aku? Ah.
"Iya."
"Sungguh, Ray?" Chie mengangkat kepalanya, senyumnya
mengembang di sela air mata yang mengaliri pipinya.
"Tentu, seandainya Enni sudah menikah dengan orang lain
dan aku masih belum bisa menemukan pelabuhanku."
Chie meruncingkan bibirnya, dan menjatuhkan kepalanya
kembali di dadaku. Menggerakkan telunjuknya menelusuri
garis-garis dadaku, membiarkanku tertawa kecil.
"Kamu sama saja dengan mereka, Ray. Egois."
Tuduhan itu membuatku terdiam. Benarkah?
"Ray, kamu tahu?"
"Apa?"
"Masalah Jay. Waktu itu... aku yang memintanya."
"Ah?"

Surabaya, Keesokan Harinya

"Ray, si pemburu. Menemuiku dan meminta maaf?"
Kutatap mata Jay, mencoba menyelami perasaannya, sama
seperti dulu. Namun yang kutemukan bukanlah pancaran
liar dan haus yang biasa kurasakan saat-saat kami masih
bersama. Ini pancaran yang jauh lebih dewasa, yang
membuatku merasa demikian kecil di hadapannya.
"Jay, Chie menyuruhku ke sini. Aku butuh penjelasan."
"Sayang, emosimu membuyarkan penjelasanku waktu itu."
"Maaf," desahku, bahkan kini aku pun tak mampu
memandangnya.
"Hanya maaf?" Jay tertawa.
"Cukup segitu?" tanya Jayu lagi.
Ironis. Namun aku tak tahu harus tertawa ataukah
menangis mendengar sindiran itu.
"Entahlah.." sahutku lirih.

Jay bangkit berdiri, menuju ke sudut ruangan dan
mengangkat gagang telepon. "Hallo?"
Hening sesaat merasuki suasana.
"Ray? Oh dia ada di sini, ke sini saja. Sepi kok!" Jay
tertawa kecil.
Huh?
"Kalian berdua. Aku menyayangi kalian."
Chie mengangkat kedua lengannya, meraih dan memeluk kami
berdua dalam dekapannya. Aku sedikit terguncang. Chie.
Beginikah perasaanmu sesungguhnya?
"Aku merindukan saat-saat ini."
Kulihat Jay tersenyum dan memejamkan matanya. Aku merasa
bingung, terlalu banyak rahasia yang masih tidak
kupahami selama dua bulan ini.
"Aku akan berangkat ke Australia akhir Oktober."
Aku terenyak, mengangkat tubuhku dan menatap matanya
bertanya-tanya. Jay terlihat diam, matanya masih
terpejam.
"Chie akan menikah enam bulan lagi."
Ah? Bahkan aku pun tidak tahu?
"Bisnis," Chie mendesah.
"Ah.. ah...?"
Chie merasakan kebingunganku.
"Jay, pinjam kamarnya."
Jay hanya tersenyum, matanya masih terpejam. Jay, kenapa
dia bisa setenang itu, kenapa seakan ia tidak mau
melihat apa yang sedang terjadi?

"Ray, aku sayang kamu," Chie memelukku dengan kedua
lengannya.
"Aku juga, Chie. Tapi..."
"Sshhh... mohon jangan menolakku sekarang."
Chie mengecup bibirku, meraih tombol lampu, membiarkan
kegelapan menyelimuti kami berdua.
"Chie.." desahku.
Chie mendekap mulutku dengan bibirnya, menjatuhkanku di
samping tempat tidur.
"Aku ingin bercinta denganmu, Ray."
"Jangan, Chie!"
Kupegangi kedua pundaknya, menjauhkan kepalanya.
"Sebelum aku menjadi milik bule. Ingat?" Senyumnya
mengembang.
Bule? Ah, Chie. Itukah sebabnya kamu diam saja mendengar
selorohanku tempo hari? Dan aku tak bisa menolak ketika
Chie mulai menciumi leherku dan membuka retsleting
celanaku, menelanjangiku, membiarkanku mendesah saat
jemarinya menyentuh batang kemaluanku.
"Sentuh aku, Ray!" desahnya di dadaku.
Kusentuh tubuh indahnya, membantunya melepas baju dan
branya. Nafsu sudah memenuhi rongga-rongga kepalaku,
membuatku terengah dan mendesah saat rabaanku menemukan
kemaluannya di balik roknya yang tersingkap.
"Chie.."
"Aku sayang kamu, Ray."

Kuterlentangkan tubuhnya, kuciumi buah dadanya yang
telanjang, menikmati gesekan kemaluan kami yang beradu.
"Ray..."
Chie mengerang lirih saat batang kemaluanku menusuk
liang kemaluannya. Kunikmati setiap bagian kemaluanku
yang mendesak masuk. Sempit, hangat. Kaki-kaki Chie
mulai melingkari pinggulku yang bergerak-gerak menekan.
Erangan dan desahan nafas kami terdengar memenuhi
ruangan. Kunikmati kehangatan liang kemaluannya saat
batang kemaluanku menyesakinya, menggerak-gerakkan
pinggulku, meresapi segala rasa yang dihadirkannya dalam
sanubariku. Kugigit bibirnya, merasakan kepalanya yang
terangkat dan cengkeraman kuku-kukunya di kulit
punggungku.
"Chie.. aku mau keluar.."
"Di dalam, Ray.."
"Jangan!"
Chie mempererat rangkulan kaki-kakinya di pinggulku,
mengangkat pinggulnya dan menekannya kuat-kuat, batang
kemaluanku sekejap nyeri merasakan tekanan itu, dan
tanpa bisa kutahan lagi, kepalaku terangkat dan spermaku
tersembur keluar.
"Chie..." erangku tertahan, mataku terpejam.
Kurasakan otot-ototku menegang dalam kenikmatan yang
kurasakan. Demi Tuhan. Baru kali ini aku menyemburkan
spermaku di dalam liang kemaluan seorang gadis. Betapa
aku menikmati ketakjuban perasaan yang dibawanya.
Perasaan yang hilang saat aku terpaksa menarik keluar
batang kemaluanku dan menyemburkannya di atas perut
gadis-gadis itu.
"Ray.." Chie mendesah lirih saat bibirnya menyentuh
bibirku.

Kukecup bibirnya dengan lembut. Betapa aku sangat
menyayangi gadis ini.
"Ray, masih ingat kamu pernah berkata bahwa kamu hanya
mau berhubungan seksual dengan gadis yang bukan
perawan," Chie tertawa kecil.
"Ray, Aku masih perawan."
Ah! Aku tertawa kecil. Sudah kuduga. Aku bukanlah
seorang bodoh yang tak bisa membedakan perawan dengan
tante-tante. Kini semua rangkaian cerita sudah lengkap.

Akulah Ray. Si pemburu gadis-gadis perawan.
Mengembangkan otakku untuk memperawani mereka. Tanpa
mereka sadari. Aku yang pantang bercinta dengan perek
dan pelacur. Akulah Ray.

Kuusapkan keringat di wajahku ke kulit dada gadis di
bawahku, sebelum aku bangkit berdiri dan memunguti
pakaianku, mengenakannya, dan meninggalkan ruangan gelap
itu, sesaat setelah Chie merangkulku dari belakang.
"Ray, aku menyayangimu."
Ah, Chie. Aku pun juga. Jangan katakan lagi. Itu
menyakitkan.

Jay menunggu di ruang tamu. Matanya menatapku saat aku
keluar dari kamar. Jay bangkit berdiri dan
menghampiriku. Kutunggu saat-saat kepalannya
menghajarku. Namun sebuah tepukan di pundakku membuka
mataku. "Ray, kapan aku bisa mengalahkanmu?" Jay
tersenyum pahit. Kurangkul dia dan kubiarkan air mataku
membasahi bahunya.

Penutup

Jay menyukai Chie. Ia serius. Aku dapat merasakannya
dari setiap pertemuan kami, dan aku menghargainya.
Karena bagiku Chie tak lebih dari sekedar bunga mawar
yang jingga di antara kumpulan bunga-bunga mawar merah
di kebunku. Chie menerima Jay menjadi kekasihnya, dan
itu membuatnya menipu perasaannya sendiri. Karena Chie
lebih memilihku. Sayang. Seharusnya aku sudah bisa
menduga ketidak-harmonisan hubungan mereka ketika ayah
Chie meninggal dunia. Tepat siang itu mereka berdua
sudah memutuskan untuk mengakhiri kemunafikan itu. Tapi
Jay dan Chie tidak bercerita padaku, mungkin takut
mendapatkan respon negatif dariku. Chie lalu bercerita
pada Jay mengenai acara pernikahannya dengan anak rekan
bisnis ayahnya dari Australia untuk menyambung
eksistensi bisnis peninggalan ayahnya. Chie juga
bercerita padanya (aku tak tahu bagaimana perasaan Jay
saat itu) bahwa ia ingin menyerahkan keperawanannya
padaku, sebelum menjadi milik orang yang sama sekali
asing baginya. Oh God.

Jay memang harus diakui memiliki hati dan jiwa yang
sungguh luar biasa. Jay malah menawarkan pada Chie untuk
membantunya, karena Jay sadar, untuk mendapatkanku
adalah hal yang sangat susah untuk dilakukan, apalagi
oleh Chie seorang diri. Jadi mereka mulai menyusun
rencana. Chie memanfaatkan salah satu prinsipku, yaitu
bahwa aku takkan berhubungan seksual terang-terangan
dengan gadis yang masih perawan, sehingga ia mencoba
membuatku percaya bahwa ia sudah tidak perawan lagi. Dan
untuk itu Jay bersedia berkorban, karena hanya dialah
yang terdekat dengan Chie, selain aku. Ah, Jay.

Dua bulan lamanya Chie berusaha merayuku untuk melakukan
hubungan seksual, namun yang didapatinya hanyalah
keteguhan hatiku dan penolakanku, aku mengakui, bahwa
aku sering tergoda dan nyaris tak berdaya, namun
kenangan atas persahabatan itulah yang mungkin kurang
diperhitungkan oleh Chie dan Jay. Aku mengasihi mereka.

Malam itu, saat Chie mengakui bahwa ialah yang meminta
Jay memperawaninya, Chie rupanya sudah berputus asa
merayuku, dan akhirnya mencoba membangkitkan emosiku.
Bukan emosi terhadap Jay, melainkan terhadap dirinya.
Sehingga aku, entah bagaimana, terpancing untuk datang
ke rumah Jay demi menuntut penjelasan. Dan entah kenapa
pula aku mau melakukan hubungan seks itu dengan Chie.
Aku tahu ia masih perawan. Aku tahu itu, aku bukan
seorang bodoh. Namun kata-kata "bule" itu menambah emosi
yang memang sudah terpancing sebelumnya. Dan
perbincangan dengan Chie sebelumnya akan makna
keperawanan membuatku semakin hanyut dalam percintaan
itu. Akhirnya Chie berhasil mendapatkanku. Sesaat
setelah percintaan itu, aku mulai bisa menebak
berkas-berkas fakta yang sebelumnya terasa begitu
gamang. Dan itulah yang membuatku tertawa. Tertawa
paling pahit yang pernah kudengar dari mulutku.

Chie, sekarang sudah menjadi istri pengusaha kaya raya,
dan bule. Aku sendiri juga heran, kenapa setelah saat
itu Chie tidak mengandung anakku. Entahlah, itu urusan
wanita. Dan aku masih sering menghubunginya. Aku bangga,
karena suaminya adalah seorang bule yang benar-benar
bule, yang "open minded". Chie memiliki seorang anak dan
anak itu bernama depan Ray. Pahit dan menyenangkan. Chie
tak pernah masuk ke alam daftar gadis-gadisku. Karena ia
adalah temanku, sahabatku, orang yang kukasihi.

Jay? Jay sekarang ada di sebelahku, dengan rokok Dji Sam
Soe kretek di bibirnya. Berteriak-teriak protes di sisi
kupingku, karena menurutnya, seandainya saja saat itu
tidak ada rencana yang sudah terbentuk, ia pasti sudah
melayangkan bogem mentahnya ke rahangku. Kami masih
sering berkelana di dunia fana, menemani hantu-hantu
malam yang berkeliaran di naungan kepak-kepak sayap
cinta dan kasih sayang, mengembangkan layar mencari
pelabuhan perhentian kami.

Kami bertiga masih berteman. Sampai sekarang.
Ray, pemuja kasih dan seorang pecinta.
Jay, kembarannya, dan sahabat terbaiknya.
Chie, sederhana dalam gemerlap, gadis penuh pesona.

RAY, dan JAY.

Chie... We love you.

Kasih, pengorbanan dan kesabaran cinta, keinginan dan
ego manusia cinta sejati, cinta dan kasih yang
berpelukan.

No comments: